Rabu, 28 Oktober 2015

Etika Dalam Berproduksi dan Konsumsi (Tafsir Ayat Ekonomi)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    QS. Al-Baqarah (1) : 282-283
1.      Teks dan Tarjamah
يأَيُهاَ الَّذِينَ آمَنُوْا إِذَا تَدَيَنْتُمْ بِدَينٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسمّىً فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَّينَكُم كاتِبٌ بِالعَدْلِ وَلاَ يَأبَ كاَتِبٌ أَنْ يَكتُبَ كَما عَلَّمَهُ اللَّه فَلْيَكتُبْ وَليُملِلِ الَّذِي عَلَيهِ الحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ ربَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيئاً فَإنْ كاَنَ الَّذِي عَلَيْهِ الحَقُّ سَفيهاً أَوْ ضَعِيْفاً أَوْ لاَ يَستَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَليُملِل وَلِيُّهُ بِالعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِدَينِ مِنْ رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَّم يَكُوْنَا رَجُلَينِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُهَدآءُ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدِاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يأَبَ الشُهَداءُ إِذاَ ماعُدُوا ولاَتَسْئَمُوا أَنْ تَكتُبُوْهُ صَغِيراً أَوْ كَبيراً إِلَى أَجَلِهِ  ذَا لِكُم أَقسَطُ عِنْدَ اللهِ وَ أَقومُ للشَّهادةِ وَ أَدْنىَ أَلاَّ تَرْتَابُوا إلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُضِيرُ نَها بَينَكُم فَلَيْسَ عَلَيكم جُناحٌ ألاَّ تَكتُبُوهَا وَ أَشهِدُوا إِذَا تَبَا يَعتُمْ وَلآ يُضَا رَّ كاَتِبٌ وَ لَا شَهيدٌ وَ إِنْ تَفْعَلُوْا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَ يُعلِّمُكمُ اللهُ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيئٍ عَلِيمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman!Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan,hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,maka hendaklah ia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan,dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikit pun darinya.Jika orang yang berhutang itu orang yang akalnya kurang atau lemah (keadaan), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya  dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada saksi dua  orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika ada seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai, yang kamu jalankan di antara kamu,maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, suatu kefasikan pada kamu. Dan bertaqwalah kepada Allah. Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
2.      Makna mufradat
يآَيُهَاالَّذِيْنَ امَنُوْا اِذَا تَدَيَنْتُم بِدَيْن (Hai orang-orang yang beriman, jika kamu melakukan hutang-piutang) Perintah ayat ini ditujukan kepada orang-orang beriman ,tetapi yang dimaksud adalah selalu menggambarkan hubungan antara dua belah pihak. Kata ini antara lain bermakna pembalasan, ketaatan dan agama. Semuanya menggambarkan hubungan timbal balik, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni utang-piutang.
اِلَى اَجَلٍ مُّسَمَّى  (Untuk waktu yang ditentukan) Anak kalimat ayat ini menegaskan ketika berhutang seharusnya sudah tergambar dalam benak penghutang, bagaimana, serta dari sunber mana pembayarannya terlunasi. Ini juga sebagai dalil bahwa waktu yang tidak diketahui (tidak ditentukan) adalah tidak boleh[1]
 فَاكْتُبُوْهُ (maka tulislah) Perintah menulis hutang-piutang dipahami oleh para ulama sebagai anjuran, bukan di wajibkan. Menuliskan utang beserta waktunya, karena hal ini lebih bisa mencegah perselisihan dan percekcokan.[2]
كَاتِبٌبِاالعَدْلِ (Penulis yang adil) yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian, dan kejujuran.
وَلَايَأبَ كَاتِبٌ  (Janganlah seorang penulis menolak) Selanjutnya penggalan ayat ini meletakan tangung jawab di atas pundak penulisyang mampu. Walaupun pesan ayat ini dinilai para ulama sebagai anjuran, tetapi ia menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu, dan pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan.
وَلْيُمْلِل  (Maka imlakanlah), atau dengan kata lain mendikte, Hal ini adalah keharusan bagi piutang.
وَلَايَبْخَسْمِنْهُشَيْئًا (Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya) piutang tidak boleh mengurangi hutangnya, saat penulis mengimlakannya.
سَفِيْهًاأَوْضَعِيْفًا  (Lemah akalnya atau lemah keadaannya)
لَايَسْتَطِيْعُأَنْ يُمِلَّ (Tidak mampu mendiktekan sendiri ,sebab lemah akalnya atau keadaannya ia menjadi seperti itu)
فَلْيُمْلِلِ وَلِيُّهُ (Maka walinya yang mendiktekannya (utang-piutang) tersebut). Maka hendaklah walinya tersebut mewakilkannya setelah terlebih dahulu mencekal penggunaan hartanya.
وَاسْتَشْهِدُوْشَهِدَيْن (Disaksikan dengan dua saksi), dua orang dari laki-laki. Yaitu meminta kesaksian dari dua orang kaum muslimin yang mencakupi urusan mereka berdua (pengutang dan pemberi utang) yang dapat memberikan kesaksian.
أَنْ تَضِيْلَ إِحْدَاهُمَا (Agar piutang memilih saksi yang mereka sukai) dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
وَلَاتَسْئَمُوْا (Jangan jemu untuk menuliskannya) peringatan bagi juru tulis untuk tidak jemu dalam menuliskannya, karena mungkin saja mereka bosan dalam mencatatnya karena banyaknya utang piutang.
وَ أَقوَمُ للشهادةِ (Lebih menguatkan kesaksian) jika hutang itu dituliskan,dan terdapat para saksi
وَلَايُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلَاشَهِيْدٌ (Dan janganlah penulis dipersulit begitu pula saksi). Janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi atau penulis.
فُسُوْقٌ بَيْنِكُمْ (Kefasikan mereka) janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis melakukan  yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan bagi dirimu. Kefasikan  adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt, atau sengan kata lain durhaka kepda Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya.
3.      Asbabunnuzul
Ayat (Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang) Ini mencangkup transaksi pinjaman atau Bai’ Salam. Allah memerintahkan kepada orang yang berhutang untuk menuliskan hutang di buku  catatan hutang masing-masing. Dan memerintahkan kepada si pencatat hutang, agar menuliskannya secara adil. Dan perintah Allah ini bersifat fardhu, kecuali jika ada dalil lain yang menyatakan bahwa ayat ini bersifat anjuran saja. Sedangkan ayat lain yang berbunyi (Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain) berentangan laku disaat tidak ada kesempatan untuk menulis,atau pergi ke pencatat hutang.Namun jika ada kesempatan untuk menulis atau ada pencatatan hutang, maka hukumnya menjadi wajib. Sebagaiman firmannya (Dan hendaklah seorang penulis diantar kamu menuliskannya denga benar).
Diriwayatkan dari Adh-Dhahak,ia menjelaskan firman-Nya (Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya) Dia berkata ”Jika jual-beli tidak secara tunai,maka diperintahkan agar dicatat, baik dalam transaksi berskala kecil maupun besar” Dan diriwayatkan dari As-Saddi tentang maksud ayat ini, dia berkata ”Janganlah penulis enggan menuliskannya jika dalam keadaan senggang”.
4.      Tafsir surat
Inilah ayat yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan merupakam Ayat al-Mudayyanah (utang-pituang). Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban menulis utang-piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak yang dipercaya (notaris) dalam jumlah (utang) yang besar maupun kecil disertai ketetapan waktu.
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt, kepada kaum yang menyatakan beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. Ketentuan ini membuat masalah hutang piutang menjadi jelas, selain menyatakan bahwa hal itu diperbolehkan, dan menetukan jangka waktu hutang. Dalam ayat ini menyertakan semua jenis utang yang ditemui dalam tawar menawar, seperti pembelian dengan kredit, tawar menawar waktu, dan hutang itu sendiri.[3] Dengan perintah menulisnya adalah tuntutan yang sangant dianjurkan, hal ini dapat memudahkan kedua belah pihak.
Kata تداينتم)) taddayantum diterjemahkan dengan bermuamalah, dari kata دين)) dain Kata ini memiliki banyak arti, tetapi kata yang dihimpun dari huruf (dal ,ya, dan nun) selalu menggambarkan hubungan antara dua belah pihak salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna pembalasan, ketaatan, dan agama. Semuanya menggambarkan hubungan timbal balik atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai yakni utang-piutang.
Penggalan ayat-ayat ini menasihati kepada setiap orang yang melakukan transaksi utang-piutang dengan dua nasihat pokok. Pertama, dalam pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Dalam konteks ini tidak pula mengisyaratkan bahwa ketika berhutang masa pelunasaannya harus ditentukan,bukan dengan berkata “Kalau saya ada uang” atau “Kalau si A datang” karena perkataan seperti ini tidak pasti, dapat ditunda ataupun tertunda. Bahkan anak kalimat ayat ini bukan hanya mengandung isyarat tersebut, tetapi juga mengesankan ketika berhutang seharusnya sudah tergambar dalam benak penghutang, bagaimana serta dari sunber mana pembayarannya terlunasi. Dan secara tidak langsung mengantarkan sang muslim untuk berhati-hati dalam berhutang. Sedemikian keras tuntutan kehati-hatian sampai-sampai Nabi Muhammad saw, enggan menshalati mayat yang berhutang tanpa ada yang menjamin hutangnya (H.R Abu Daud dan an-Nasa’i) bahkan beliau bersabda “Diampuni bagi syahid semua dosanya, kecuali hutang.(H.R Muslim dari ‘Amr Ibn al-‘Ash).
Perintah menulis hutang-piutang dipahami oleh para ulama sebagai anjuran ,bukan di wajibkan.Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata (إذا) untuk menunjukan kepastian dalam menunjukan sesuatu. Jika kedua belah pihak tidak pandai dalam baca tulis, maka hendaklah mereka mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat. Selanjutnya Allah swt menegaskan: ”Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil”, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis,pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian,dan kejujuran.
Dalam ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, disamping menuntut adanya pengetahuan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seorang yang adil tapi tidak mengetahui keadilannya, akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi adil, ketika itu pengetahuannya ia gunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkam penyelewengan dan menghindari sanksi.
Selanjutnya penggalan ayat ini meletakan tangung jawab di atas pundak penulis yang mampu. Walaupun pesan ayat ini dinilai para ulama sebagai anjuran,tetapi ia menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu,dan pada saat yangsama,jika hak dikhawatirkan akan terabaikan.
Dan dalam firman Allah “Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakan” apa yang telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan yang pemberi hutang? Karena dia dalam kondisi lemah,jika yang pemberi utang yang menuliskankannya, bisa jadi suatu ketika ia akan mengingkarinya. Deangan menuliskan sendiri hutangnya dan di depan penulis,serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian itu. Dan Allah mengingatkan agar yang berhutang “Hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”. Demikian ia diingatkan untuk bertaqwa dengan menyebut dua kata yang menunjuk kepada Allah, sekali Allah yang menampung seluruh sifat-sifat-Nya yang Maha Indah, termasuk sifat Maha Perkasa, Maha Pembalas, Maha Keras siksaan-Nya dan di kedua kalinya Rabbahu, yakni Tuhan Pemeliharanya. Ini untuk mengingatkan yang berhutang bahwa hutang yang diterimanya serta kesediaan pemberi hutang untuk meminjamkannya tidak terlepas dari pemeliharaan dan pengetahuan Allah terhadapnya, karena itu lanjutannya “Janganlah ia mengurangi sedikitpun daripadanya” baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaraan dan lain-lain yang dicakup oleh kesepakatan bersama.
Lanjutan ayatnya, bagaimana kalau yang berhutang  karena suatu hal tidak mampu mengimlakannya? “Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta karena suatu sebab atau lemah keadaannya, seperti sakit atau telah lanjut usia atau dia sendiri tidak mampu mengimlakannya, seperti bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, maka hendaklah walinya mengimlakannya dengan jujur”.
Setelah menjelaskan tentang penulisan diatas, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian baik dalam hal tulis menulis ataupun lainnya. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah (شهدين) syahidain bukan (شاهدين) syaahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah yang benar-benar wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan kata lain tidak ada keraguan yang menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi laki-laki yang merupakam anggota masyarakat muslim. Atau jika tidak ada yakni, kalau bukan dua orang saksi laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki,dengan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Ayat ini menerangkan bahwa, jika salah satu perempuan lupa, maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersama mengingatkannya. Yang menjadi alasan adalah perempuan, karena kuatnya emosi yang mereka miliki sehingga kesaksian oleh perempuan harus secara bersama-sama.[4] Persoalan ini dapat dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fugsi utama yang dibebankan atasnya.
Sebagaiman Allah berpesan “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keuntungan) apabila mereka dipanggil. Karena keengganan dapat mengakibatkan hilangnya hak dan korban. Yang dinamai saksi adalah orang yanh berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual menjadi saksi. Setelah mengingatkan para saksi, ayat ini kembali membicarakan tentang hutang-piutang, tapi dengan memberi penekanan terhadap hutang yang berjumlah kecil, karena biasanya perhatian tidak diberikan secara penuh menyangkut hutang yang kecil,padahal yang kecil pundapat memicu permusuhan bahkan pembunuhan. Karena itu ayat ini mengingatkan, janganlah kamu jemu menulis hutang itu baik kecil maupun besar sampai yakni, batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, yakni penulisan htang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dalam dalam kenyataan hidup dan lebih dapat menguatkan persaksian serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan di antara kamu.
Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muamalah dilakukan dalam bentuk utang-piutang. Tetapi jika ia perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, perintah ini oleh mayoritas ulama diartikan sebagai petunjuk umum bukan perintah wajib.
Penggalan ayat berikutnya menyatakan (ولايضاركاتب ولاشهد) wa la yudharra kaatibbu wala syahida) yang berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat diartikan juga  janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis melakukan  yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan bagi dirimu. Kefasikan  adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt, atau dengan kata lain durhaka kepda Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya “Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah mengetahui segala sesuatu”. Menurut ayat ini dengan perintah bertaqwa disusul dengan mengingatkan pengajaran Illahi, merupakan penutup yang tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya sebagai dengan berbagai cara tersembunyi untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat ajaran Illahi menjadi sangat tepat.
B.     Surat Al-Baqarah ayat 283
1.      Teks dan Terjemahan
وَإِن كٌنتٌم عَلَى سَفَرٍ وَلَم تَجِدُوا كاَتِباً فرِهانٌ مَقبُوضَةً فإن أَمِنَ بَعضُكُم بَعضاً فَليُؤَدِّ الَّذِى أُؤتُمِنَ أَماَنَتَهُ  وَليَتَّقِ اللَّهَ رَبُّهُ وَلاَ تَكتُمُو الشهادة ومَن يَكتُمهاَ فَإِنَّهُ أَثِمٌ قَلبُهُ وَ اللَّهُ بِما تَعمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu,tidak mendapatkan seorang penulis ,maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya;dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya,maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
2.      Makna mufradat
وَلَمْ يَجِيْدُ كَاتِبًا Tidak ada penulis, ketika dalam perjalanan dan bermu’amalah tidak secaratunai
فَرِهَانٌ مَقْبُوْضَةٌ Barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang, memberi barang tanggungan sebagai barang pinjaman, atau dengan kata lain menggadai,
أَوْتُمِنَ أَمَانَتَهُ maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya). kepercayaan dan amanah timbal balik. Hutang diterima oleh pengutang, dan barang jaminan  diserahkan oleh pemberi hutang.
وِلَاتَكْتُمُواالشَّهَادَةَ menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik atau pun yang tidak diketahuinya.
أثِمٌ قَلْبُهُ Berdosa hatinya, jika ia mengurangi ,melebihkan atau tidak menyampaikan sama sekali.

3.      Asbabunnuzul
Allah memerintahkan untuk memberikan jaminan apabila mereka tidak mendapatkan pencatat. Selanjutnya Allah swt memperbolehkan untuk tidak memberika jaminan. Perintah ini merupakan hak bukan kewajiban.Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa perintah untuk mencatat lalu menghadirkan saksi kemudian memberikan jaminan merupakan sebuah petunjuk,bukan sebagai kewajiban bagi mereka. Ada pembolehan agar mereka saling mempercayai sehingga meninggalkan pencatatan,persaksian,dan jaminan.
Allah swt memerintahkan agar manusia bertaqwa kepada-Nya dengan memelihara diri supaya selalu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya. Allah mengajarkan kepada manusia segala yang berguna baginya,yaitu dengan cara-cara memelihara hartanya.

4.      Tafsir surat
Jika kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis hutang-piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang).”
Disarankan untuk memberi barang tanggungan sebagai barang pinjaman,atau dengan kata lain menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dalam perjalanan, tetapi bukan berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan. Nabi Muhammad saw pernah menggadaikan perisai beliau kepada seorang Yahudi, padahal ketika itu beliau sedang berada di Madinah. Dengan demikian kata dalam perjalanan, hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan. Bahkan menyimpan barang sebagai jaminan atau mengadainya pun tidak harus dilakukan, karena itu, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, hutang atau apapun yang ia terima. Disini jaminan bukan berarti tulisan atau saksi, tetapi kepercayaan dan amanah timbul balik. Hutang diterima oleh pengutang, dan barang jaminan diserahkan oleh pemberi hutang. Jaminan tersebut harus benar-benar diambil sebagai hak milik orang yang memberikan utang sehingga timbul rasa percaya.[5]
Kepada para saksi, pada hakikatnya juga pemikul amanah kesaksian, diingatkan janganlah kamu, wahai para saksi menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik atau pun yang tidak diketahuinya. Dan barang siapa yang menyembunyikannya,maka sesungguhnya orang yang berdosa batinnya.
Akhirnya Allah mengingatkan semua pihak bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, walau sekecil apapun, pekerjaan yang nyata maupun yang tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan, maupun hati.
C.    Surat Al-Maidah : 1                                              
1.      Teks dan terjemahan
يآَيُّهَاالَّذِيْنِءَامَنُوْاأُوْفُوابِاالعُقُوْدِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الأَنْعَامِ إَلَّامَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَمُحِلَّى الَّصَيْدِ وَأَنْتُمْحُرُمٌ إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَايُرِىْدُ
“Hai orang –orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagi kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepada kamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan hurum. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Dia kehendaki”
2.      Makna mufradat
أُفُوْابِاالعُقُوْدِ Penuhilah akad-akad itu, ketentuan  yang telah Allah tetapkan dengan mengingat nikmat dalm menghalalkan binatang ternak
بَهِيْمَةُ الأَنْعَامِ Binatang ternak, yang dimaksud adalah unta,sapi,dan kambing. Binatang,burung, dan unggas pemakan tumbuh-tumbuhan dan tidak ada dalil untuk mengharamkannya.
غَيْرَ مُحِلِّى الَّصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ Dengan tidak menghalalkan berburu, ketika mereka dalam keadaan hurum. Yang demikian itu dengan  tidak menghalalkan,baik dengan melakukan maupun dengan sekedar meyakini kehalalan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan hurum,yakni berihram untuk melaksanakan haji, umrah, atau memasuki Tanah Haram.
3.      Asbabunnuzul
Pada suatu waktu ada seorang datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata”Ikatlah janji denganku” sehubungan dengan itu Abdillah bin Mas’ud tidak menjawab yang kemudian dia menghadap Rasulullah saw menyampaikan apa yang disampaikan laki-laki itu.Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat pertama sebagai ketegasan, agar orang-orang yang beriman menguatkan janji mereka dan memenuhinya. Disamping itu dihalalkan bagimu binatang ternak yang disembelih atas nama Allah swt, seta berburu saat melakukan ibadah haji dilarang.




4.      Tafsir  Ayat
Allah swt. menjelaskan kecaman-Nya kepada Ahl-Al Kitab dengan mengakhirinya dengan uraian tentang warisan serta keharusan memenuhi perjanjian dan ketetapan-ketetapan Allah Yang Maha Mengetahui. Dari sini sangat wajar dan amat sesuai bila surah ini dimulai dengan tuntunan kepada orang beriman untuk memenuhi akad dan ketentuan yana ada sambil mengingatkan nikmat-Nya menyangkut dihalalkan binatang ternak untuk mereka. Allah memulai tuntutan-Nya dengan menyeru: ”Hai orang-orang yang beriman”, untuk membuktikan kebenaran iman kalian, penuhilah akad-akad itu, yakni baik akad antara kamu dengan Allah yang terjalin melalui pengakuan kamu dengan beriman kepada Nabi-Nya atau melalui nalar yang dianugrahkan–Nya kepadamu, demikian juga perjanjian yang terjalin antara kamu dengan sesama manusia, bahkan perjanjian antar kamu dengan diri kamu sendiri.Bahkan semula perjanjian tidak mengandung pengharaman yang halal atau penglalalan yang haram.
Telah dihalalkan bagi kamu apa yang sebelumnya diharamkan atas Ahl al-Kitab yaitu binatang ternak, setelah disembelih secara sah. Yakni dihalalkan bagi kamu memakannya,memanfaatkan kulit,bulu,tulang dan lain-lain dari binatang ternak itu, kecuali atau tetapi yangakan dibacakan kepada kamu, dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am dan ayat ketiga surat ini serta yang terdapat pada sunnah yang shahih, maka itu adalah haram,antar lain sabda Rasulullah yang mengharamkan segala hewan yang bertaring. Yang demikian itu dengan  tidak menghalalkan, baik dengan melakukanmaupun dengan sekedar meyakini kehalalan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan hurum , yakni berihram untuk melaksanakan haji, umrah,atau memasuki Tanah Haram.Sesungguhnya Allah menetapkan hukum–hukum halal dan haram,boleh atau tidak menurut yang Dia kehendaki dan berdasarkan pengetahuan dan hikmah-Nya.Karena itu penuhilah ketentuen-ketentuan-Nya.
Ayat-ayat yang dimulai dengan panggilan (يايهاالذين امنوا) adalah ayat-ayat yang turun di Makkah. Panggilan semacam ini dimaksudkan agar mempersiapkan diri melaksanakan kandungan ajakan. Dalan konteks ini diriwayatkan bahwa sahabat Nabi Mas’ud berkata: ”Jika anda mendengar panggilan Ilahi yaa ayyuha alladzina amanuu, maka siapkanlah dengan baik pendengaranmu, karena sesunggunya ada kebaikan yang Dia perintahkan atau keburukan yang Dia larang”
Kata (العقود), makna pada mulanya memberikan sesuatu dengan sempurna dalm arti melebihi kadar yang seharusnya. Menurut Thahir Ibnu Asyur ketika turunnya Al-Qur’an,masyarakat mendapatkan kesulitan dalm menetapkan ukuran adil karena kurangnya timbangan di kalangan mereka. Perintah ayat ini menunjukan bahwa Al-Qur’an sangat menekankan perlunya memenuhi akad dalam segala bentuk dan maknanya dengan mengecam mereka yang menyia-nyiakannya. Ini karena rasa aman dan bahagia manusia secar pribadi atau tidak kolektif tidak dapat terpenuhi, kecuali bila mereka memenuhi akad yang mereka jalani hingga setiap muslim diwajibkan memenuhinya, walaupun hal tersebut merugikannya. Ini karena kalau dibenarkan melepaskan ikatan perjanjian, maka rasa aman masyarakat akan terkusik. Kerugian akibat seseorang memenuhi perjanjian terpaksa ditetapkan demi memelihara rasa aman dan ketenangan seluruh anggota masyarakat dan memang kepentingan umum harus didahulukan atas kepentingan perorangan.
Yang dimaksud dengan (  الأنعام) dalam ayat ini adalah unta, sapi dan kambing. Makna dari ayat tersebut semua binatang atau burung dan unggas yang memakan tumbuh-tumbuhan dan tidak ada dalil agama yang mengharamkannya. Ada juga ulama’ yang megartikan dengan ”Segala binatang darat dan laut yang berkaki empat ” atau “ Janin yang telah mati dan keluar atau dikeluarkan dari perut binatang yang telah disembelih secara sah” menurut pendapat Imam Syafi’i.
Allah swt mengharamkan untuk berburu pada saat berihram, bukan saja untuk manusia, tapi juga untuk seluruh makhluk baik binatang maupun tumbuhan. Pelarangan itu bertujuan agar hati dan pikiran tertuju kepada Allah semata. Larangan berburu adalah larangan menangkap binatang yang tidak jinak,baik dengan tangan atau alat, seperti jala, tali, tomabak, panah dan lain-lain, atau dengan menggunakan binatang terlatih.

D.    QS. Al- Isra’ : 34
1.      Teks dan terjemahan
وَلَاتَقْرَبُوْامَالَ اليَتِيْمِ إلَّابِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغُ الشُدَّهُ وَأُفُوْابِالعَهْدِإِنَّ العَهْدَكَانَ مَسْئُوْلًا
”Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim ,kecuali dengan yang paling baik sampai ia dewasa dan penuhilah janji: sesungguhnya janji pasti diminta pertanggung jawabnya”.
2.      Makna mufradat
وَلَاتَقْرَبُوْامَالَ اليَتِيْم  Dan janganlah mendekati harta anak yatim”  kecuali (dengan mengembangkan dan menginvestasikannya) tuntutan kepada para wali untuk memelihara,dan mengembangkan harta yang dimiliki oleh kaum lemah seperti anak yatim,dan tidak mengabaikan kebutuhan yang wajar dari pemilik harta yang tidak mampu mengelola harta itu.
يَبْلُغُ الشُدَّهُ  “Sampai ia dewasa”, sehingga bila mereka telah hampir mencapai umur dewasa,maka ketika itu,bila wali telah melihat tanda-tanda kecerdasan dan kepandaian memelihara harta mereka karena ketika itu tidak ada lagi cara untuk menahannya.
وَأُفُوْابِالعَهْدِ ”Penuhilah janji” kepada siapa pun kamu berjanji
إِنَّ العَهْدَكَانَ مَسْئُوْلًا ”Sesungguhnya janji yang kamu janjikan pasti diminta pertanggung jawabannya” oleh Allah swt. kelak di hari kemudian,atau diminta kepada yang berjanji untuk memenuhi janjinya.
3.      Tafsir Ayat
Setelah melarang perzinahan dan pembunuhan, maka kini dilarang melakukan pelanggaran terhadap apa yang berkaitan erat dengan jiwa dan kehormatan,yakni harta. Ayat ini menegaskan bahwa ”Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang paling baik”, yakni dengan mengembangkan dan menginvestasikannya. Lakukan hal itu sampai ia dewasa. Dan bila mereka telah sampai dewasa dan mampu, penuhilah janji kepada siapa pun kamu berjanji. Sesungguhnya janji yang kamu janjikan pasti diminta pertanggungjawabannya oleh Allah swt. kelak di hari kemudian, atau diminta kepada yang berjanji untuk memenuhi janjinya.
Para wali juga diingatkan agar tidak memanfaatkan harta anak yatim untuk kepentingan pribadi, dengan dalil bahwa merekalah yang mengelolanya bukan anak-anak yatim itu. Memang para wali  dapat memanfaatkannya dalam batas kepatutan, tetapi tidak membelanjakan harta itu dalam keadaan tergesa-gesa sebelum ia dewasa.
Mengenai masalah pemenuhan janji, adanya kenyataan bahwa sebagian besar hubungan social, saluran system perekonomian dan masalah-masalah politik  berputar diatas poros perjanjian. Jika muncul ganjalan dalam masalah pelaksanaan janji-janji, niscaya system social akan segera ambruk. Oleh karena itu kita harus berpegang teguh pada pngucapan janji, apapun itu dan kepada siapapun.[6]






Daftar pustaka
Al-Qur’an Al Kariim
Saifuddin,Muhammad, Miracle The Reference (Sigma Publishing :2010 Bandung)
Abdurrahman,Irman,  Tafsir Nurul Qur’an, (Jakarta : Al-Huda,2003)
Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul bayan Jild 2 (Jakarta: Pustaka Azzam,2007)
Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul bayan Jild 3 (Jakarta: Pustaka Azzam,2007)
Salman nano, Tafsir nurul Quran (Isfahan:Al-Huda, 2005)





[1] Amir Hamzah Fachruddin ,Asep saifullah Tafsir Fathul Qadr (Jakarta:Pustaka Azzam,2009) hal. 202
[2] Ibid hal.  203
[3] Irman Abdurrahman, Tafsir Nurul Qur’an (Jakarta:Al Huda,2003)  hal.78
[4] Ibid. hal 79
[5] Ibid hal.83
[6] Tafsir nurul Quran, salman nano (Isfahan: Al-Huda ,2005) hal.828