Rabu, 28 Oktober 2015

Hukum Jaminan (Hukum Perdata)

BAB I
PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang Penulisan
Dari beberapa pengertian mengenai hukum jaminan, maka dapat disimpulkan bahwa hukum jaminan ialah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dengan penerima jaminan (kreditur) sebagai pembebanan suatu utang tertentu. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu. Hukum jaminan meliputi jaminan perorangan maupun kebendaan. Jaminan kebendaan meliputi hipotek, gadai. Sedangkan jaminan perorangan yaitu penanggungan utang.
Maka dari itu dalam makalah ini, Kami akan menjelaskan tentang pengertian hukum jaminan, dasar hukum jaminan, fungsi jaminan, macam-macam jaminan sampai dengan lembaga-lembaga jaminan di Indonesia secara terperinci.
2.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penjabaran mendasar mengenai Hukum Jaminan?
2.      Apa saja materi pembahasan Hukum Jaminan?
3.      Apa saja lembaga-lembaga jaminan dan bagaimana penjelasannya?

3.     Tujuan dan Manfaat Penulisan
3.1.                      Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata. Agar Kita dapat memahami materi Hukum Perdata mengenai Hukum Jaminan secara mendasar dan mendalam.
3.2.                      Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Menambah wawasan mengenai salah satu materi Hukum Perdata mengenai Hukum Jaminan.
2.      Memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang apa saja yang diatur didalam Hukum Jaminan.
3.      Menjadikan materi ini sebagai pedoman agar bisa menjadi masyarakat yang mengerti akan hukum.
                                                                                                       
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Jaminan
Pada dasarnya istilah jaminan itu berasal dari kata “jamin”, yang berarti tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai “tanggungan”. Menurut pasal 2 ayat 1 surat keputusan direksi Bank Indonesia no.23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang jaminan pemberian kredit dikemukakan bahwa jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan perjanjian. Dalam KUHper Indonesia memang tidak secara tegas merumuskan tentang apa yang dimksud dengan jaminan itu. Namun demikian dari ketentuan pasal 1131 dan pasal 1132 KUHper dapat diketahui arti jaminan tersebut. Ketentuan pasal 1131 menyatakan bahwa “ Segala kebendaan si berutang (Debitor), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada mauoun yang baru aka nada di kemudian hari, menjadi jaminan suatu segala perikatan pribadidebitor tersebut”.
Pasal tersebut mengandung asasa bahwa setiap orang bertanggungjawab terhadap utangnya, tanggung jawab yang mana berupa kekayaannya baik benda bergerak maupun benda tak bergerak, jika perlu dijual untuk melunasi utang-utangnya. Asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan didalam hukum oerikatan, dimana setiap orang yang memberikan utang kepada seseorang (Kreditor) percaya bahwa debitor akan melunasi utangnya dalam jangka waktu yang tealh ditentukan. Setiap orang wajib memenuhi apa yang telah dijanjikannya sebagai wujud dari tanggungjawab moral yang sekaligus merupakan tanggungjawab hukum.
Diuraikan lebih lanjut dalam pasal 1132 KUHPer menyatakan bahwa “Kebendaan tersebut dalam pasal 1131 menjadi jaminan bersama bagi para kreditor, dan hasil pelelangan kebendaan tersebut dibagi diantara para kreditor seimbang menurut besar-kecilnya piutang mereka masing-masing, kecuali alas an-alasan yang sah untuk mendahulukan pitang yang satu daripada yang lain”.
Dari ketentuan pasal tersebut diketahui bahwa apabila seorang debitor mempunyai beberapa kreditor maka pada prinsipnya kedudukan para kreditor itu adalah sama (Asas Paritas Creditorium). Dalam hal harta kekayaan debitor yang bersangkutan tidak mencukupi untuk melunasi utang-utangnya, maka para kreditor itu dibayar berdasarkan asas keseimbanngan, dalam arti masing-masing memperoleh pembayaran seimbang dengan piutangnya.
2.      Dasar Hukum Jaminan
Dalam hukum positif Indonesia  terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan dalam rangka melaksanakan system kehati-hatian (Prudentia) yang harus dilakukan oleh industry perbankan, termasuk perbankan syariah. Antara lain dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan UU no 7 tahun 1992 tentang perbankan yang telah diubah dengan undang-undang no 10 tahun 1998, peraturan perundang-undangan Bank Indonesia dan KUHPer. Berikut akan disebutkan beberapa pasal perundang-undangan diatas yang terkait dengan urgensitas jaminan di perbankan
 :
1.      Dalam UU no 10 tahun 1998 terdapat pada pasal 8 ayat 1 serta pasal 12 A ayat 1.
2.      Dalam peraturan Bank Indonesia (PBI) no 5/7/PBI/2003 tentang kualitas aktiva produktif bagi Bank Syariah pasal 2 ayat 1dan penjelasannya, dan pada PAPSI (Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia) tahun 2003 Bank Indonesia .[1]
3.      Dalam KUHPer 1131 dan Pasal 1132.
3.      Fungsi Jaminan
a.      Debitor
Dengan demikian Jaminan kredit mempunyai fungsi untuk mengamankan pelunasan kredit bila dikemudian hari debitor wanprestasi terhadap bank. Jaminan kredit yang dikuasai bank harus merupakan sesuatu jaminan yang mempunyai nilai yang baik dan seharusnya diikat dengan suatu lembaga jaminan secara sempurna. Dan untuk mendorong debitor untuk secara cepat melunasi kreditnya, agar jaminan tersebut tidak dicairkan karena terjadinya kemacetan pelunasan kredit.
Debitor terdorong untuk berhati-hati dalam mempergunakan dana yang berasal dari kredit sebagaimana yang telah disepakati dengan bank.
Debitor dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya dan memberikan kepastian hukum bagi debitur untuk mengembalikan pokok kredit dan Bungan atau bagi hasilnya yang ditentukan dan kepastian dalam berusaha.
b.      Kreditur
Yaitu terwujudnya keamanan terhadap transaksi kredit atau pembiayaan yang ditutup dan juga memberikan kepastian hukum bagi kreditur.
4.      Macam-macam Jaminan
1.    Jaminan Perorangan (persoonlijke zekerheid)
Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (Kreditor) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya jaminan-jaminan si berutang (Debitur). Jaminan perorangan ini tidak ada hak privilege atau hak yang diistimewakan terhadap kreditur-kreditur lainnya maka jaminan itu hampir tidak berarti bagi bank sebagai pemberi kredit. Sebab tentunya bagi pihak kreditur menginginkan jaminan yang lebih kuat dan bersifat khusus. Sehingga bila suatu saat debitur tidak memenuhi utangnya maka dapat dengan mudah menyita dan melelang barang yang dijadikan jaminan tersebut.
2.      Jaminan Kebendaan ( Zakerlijke Zekerheid)
Suatu tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh si berpiutang (Kreditur) terhadap Debiturnya atau antara si berpiutang dengan seorang pihak ketiga guna memenuhi kewajiban-kewajiban dari si berutang (Debitur). [2]
Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang , si pemberi jaminan, dan menyediakannya guna pemenuhan (Pembayaran) kewajiban (Utang) seorang debitor kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan si Debitor sendiri atau kekayaan seseorang pihak ketiga. Pemberian jaminan kebendaan ini kepada si berpiutang atau kreditor tertentu, memberikan kepada si berpiutang tersebut suatu hak Privilege terhadap kreditor lainnya.
Penyendirian atau penyediaan secara khusus kekayaan itu diperuntukkan bagi kepentingan seorang debitor tertentu yang telah memintanya, karena bila tidak dada penyendirian secara khusus itu bagian dari kekayaan tadi seperti halnya dengan seluruh kekayaan debitur dijadikan jaminan untuk pembayaran semua utang debitor. Dengan demikian maka pemberian jaminan kebendaan kepada seorang kreditur tertentu, memberikan kepada kreditur tersebut suatu privilege atau kedudukan istimewa kepada kreditur lainnya.[3]
5.      Lembaga-lembaga Jaminan
Di Indonesia setelah Tahun 1996, yakni sejak lahirnya UU No. 4 Tahun 1996 tentang tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, pengikatan jaminan (agunan) kredit atau pembiayaan dibank melalui lembaga jaminan dapat dilakukan melalui beberapa macam lembaga jaminan, yaitu gadai, Hipotek, hak tanggungan, dan fidusia. Adapun uraian singkat mengenai masing-masing bentuk lembaga jaminan adalah sebagai berikut :
1)    Hipotek
a.     Pengertian Hipotek
            Hipotek merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa indonesia, yakni seiring berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia sejak tahun 1848. Istilah “hipotek” berasal dari hukum Romawi “hypotecha” yang berarti “pembebanan”, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan “onderzetting”. Hipotek adalah suatu hak kebendaan (zakelijrecht) yang merupakan perjanjian assesoir (ikutan) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan utang, merupakan jaminan utang, dan berobjekkan benda tidak bergerak yang tidak diserahkan penguasaan atas benda tersebut ke dalam kekuasaan kreditor, dan juga kepada pemegang hipotek diberikan hak preferensi untuk didahulukan pembayarannya dari kreditor lainnya. Sebagai suatu hak kebendaan, hipotek mengikuti bendanya (droit de suite) kemanapun benda tersebut dipindah tangankan (vide Pasal 1163 juncto pasal 1198 KUH Perdata). Awal mulanya, objek hipotek adalah tanah dan kapal laut. Kemudian, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Tanggungan maka terhadap jaminan atas tanah berlaku hak tanggungan, sehingga hipotek hanya tinggal untuk kapal laut saja.
      
            Sifat dari hak kebendaan lainnya adalah absolut, dalam arti hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa saja. Artinya, pemilik hak kebendaan dapat menuntut siapapun yang mengganggu haknya, karena setiap orang harus menghormati hak kebendaan tersebut. Sebagai perjanjian assessoir(buntut), hipotek mengikuti perjanjian pokok yang berupa perjanjian utang-piutang atau perjanjian yang menerbitkan utang-piutang. Jadi, hipotek bukanlah perjanjian yang independen (zelfstandigrecht). Sifat lain dari pranata hukum hipotek adanya hak preferensi dari pemegang hipotek. Dalam konteks ini, pemegang hipotek berhak untuk mendapatkan pelunasan utangnya terlebih dahulu dari kreditor lainnya, yang diambil dari hasil penjualan benda objek jaminan utang (vide pasal 1133, 1134 (2), dan 1198 KUH Perdata Indonesia).
            Jadi, manakala utang yang dijamin dengan jaminan hipotek tersebut sudah dibayar lunas sesuai yang diperjanjikan, maka hipotek dihapus dan dicoret dari dalam buku pendaftaran hipotek. Sebaliknya, manakala utang tidak terbayar lunas, maka benda objek jaminan hipotek tersebut harus dijual; dari harga penjualan tersebut akan diambil untuk dan sebesar pelunasan utang sesuai perjanjian, sedangkan kelebihannya (jika ada) harus dikembalikan kepada debitornya. Sebaliknya, manakala dari hasil penjualan benda objek jaminan hipotek ternyata tidak menutupi utang yang ada, maka debitor masih berkewajiban membayar sisa utang yang belum terbayarkan tersebut, sesuai prinsip bahwa utang yang dibuat menurut hukum memang harus dibayar.[4]

b.      Asas-asas Hipotek    
            Asas hipotek, secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)      Asas Publiciteit, yaitu asas yang menekankan bahwa hipotek itu harus di daftarkan, supaya dapat diketahui oleh umum. Mendaftarkannya ialah kepada pegawai pembalikan nama yaitu kepada kantor kadaster. Yang didaftarkan ialah akta dari hipotek itu.
2)      Asas Specialiteit, yaitu asas yang menghendaki bahwa hipotek hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjukkan secara khusus. Misalnya: benda yang dipakai sebagai tanggungan itu berwujud apa, dimana letaknya, berapa luas/besarnya perbatasannya dan lain-lain.

c.       Obyek Hipotek
            Menurut Pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani hipotek ialah:
1)      Benda-benda tak bergerak;
2)      Hak memungut hasil atas benda tersebut;
3)      Hak opstal (sekarang hak guna bangunan) dan Hak erfpacht (sekarang hak guna usaha);
4)      Bunga tanah.
5)      Bunga sepersepuluh
6)      Bazaar-bazaar atau pasar-pasar yang diakui pemerintah beserta hak istimewa yang melekat padanya.

              Jadi yang dapat dibebani hipotek itu selain benda tak bergerak juga hak-hak atas benda tersebut (benda tak  bergerak yang tak berwujud).

Diluar pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani hipotek ialah:
1)      Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang merupakan hak milik bersama yang bebas).
2)      Kapal juga dapat dibebani hipotek (diatur dalam KUHD).
            Setelah berlakunya UUPA sebelum terbitnya PP Nomor 10 Tahun 1961 yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 Pasal 26, diadakan penggolongan-penggolongan mengenai hak-hak tanah yang dapat dibebani hipotek dan credietverband sebagai berikut:
            Hak-hak tanah yang dapat dibebani hipotek ialah: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari konversi hak-hak tanah Barat yaitu hak eigendom, hak Opstal dan hak Erfpacht.
            Hak-hak tanah yang dapat dibebani credietverband ialah: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari hak-hak Indonesia yaitu yang berasal dari hak-hak tanah Adat.
            Sekarang setelah berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 dengan peraturan pelaksanannya PMA No. 15 Tahun 1961 yaitu tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hipotek dan Credietverband, sudah tidak diadakan penggolongan lagi mengenai hak-hak tanah yang mana yang dapat dibebani hipotek dan credietverband. Hipotek dan credietverband dapat dibebankan pada hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha baik yang berasal dari konversi hak-hak Barat maupun yang berasal dari konversi hak-hak Adat.
            Juga dapat dibebankan pada hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha yang baru (tidak berasal dari konversi) yang baru diadakan setelah tanggal berlakunya UUPA yaitu tanggal 24 September 1960. Pasal 1 PMA No. 15 Tahun 1961: Tanah-tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang telah dibukukan dalam daftar buku tanah menurut ketentuan-ketentuan PP 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (LN 1961-28) dapat dibebani hipotek maupun credietverband.[5]
d.      Kuasa Memasang Hipotek

            Dalam sistem KUH Perdata diperkenankan juga dibuat kuasa memasang hipotek dengan suatu surat kuasa untuk itu. Kuasa memasang hipotek ini dilakukan dengan alasan :
1.      Untuk menyingkat waktu bagi kreditor;
2.      Untuk menghemat biaya, karena pengikatan hipotek membutuhkan biaya. Karena itu, pengikatan hipotek tidak dilakukan kecuali karena terpaksa.
3.      Kuasa memasang hipotek sangat cocok diterapkan untuk utang-utang bernilai kecil.
4.      Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi, karena sesuatu dan lain hal benda objek jaminan hipotek belum memenuhi syarat untuk dipasang hipotek.[6]
            Menurut pasal 1171 ayat 1 KUH Perdata ditentukan bahwa kuasa untuk memasang hipotek harus dibuat dengan akta otentik. Yang dimaksudkan dengan pemberian kuasa ialah mengingat acara pemasangan pemberian hipotek itu tidak mudah, harus dilalui menurut formalitas tertentu, memakan waktu dan biaya, maka adakalanya untuk kredit-kredit yang diberikan, kreditor telah merasa terjamin bilamana telah mendapat kuasa dari debitor untuk memasang hipotek. Pemasangan hipotek itu kemudian baru dilaksanakan jika ada tanda-tanda bahwa debitor akan mengingkari janji, tidak memenuhi kewajibannya, maka baru terhadap benda yang dijadikan jaminan itu dipasang hipotek. Dalam istilah perbankan disebut dilakukan pemasangan nyata.
            Adanya perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotek yang demikian itu menurut ketentuan pasal 1171 ayat 2 harus dituangkan dalam akta otentik. Yang dimaksudkan disini ialah akta notaris, bukan akta yang harus dibuat oleh dan di hadapan PPAT.[7]
            Di kota-kota besar yang telah ada notarisnya diadakan dengan akta notaris, sedangkan di kota-kota kecil dimana belum ada notaris bisa dilaksanakan dengan legalisasi dari Pengadilan atau Pemerintah Daerah setempat sesuai dari permintaan kreditor yang bersangkutan.[8]
            Pemberian kuasa yang demikian harus disertai dengan penyerahan sertifikat tanah/benda yang dibebani hipotek kepada kreditor untuk ditahan atau disimpan. Penyerahan sertifikat yang demikian itu selain untuk keperluan kemungkinan pemasangan hipotek nanti jika diperlukan, juga untuk menjaga jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh debitor terhadap benda yang dipakai sebagai jaminan, misalnya dipergunakan untuk menjamin utang lain tanpa sepengetahuan kreditor, dijual, dipindahkan dan lain-lain yang kesemuanya itu dapat merugikan kreditor.
            Bagaimana  kedudukan kreditor sebelum dan sesudah pemasangan hipotek ada perbedaannya. Sebelum pemasangan hipotek (sekalipun telah dibuat dengan akta notaris perjanjian pemberian kuasanya) kedudukan kreditor adalah sebagai kreditor concuren biasa yang sama berhak dan bersaing dengan kreditor-kreditor yang lain. Sedang setelah adanya pemasangan nyata hipotek terhadap benda jaminan, kreditor berstatus sebagai yang paling kuat yang pemenuhan piutangnya didahulukan dari piutang-piutang lain, bahkan lebih didahulukan daripada privilegie.
            Juga didalam credietverband dimungkinkan adanya pemberian kuasa untuk memasang credietveband. Tapi disana tidak disyaratkan harus dengan akta otentik, sehingga kesimpulannya pemberian kuasa untuk memasang credietverband itu dapat diadakan dengan akta dibawah tangan.[9]
e.       Akta Hipotek
            Pengikatan hipotek dilakukan dengan menggunakan instrumen yang disebut dengan “akta hipotek”. Akta hipotek harus memenuhi syarat-syarat:
1)      Harus berupa akta otentik, dalam konteks ini berupa akta notaris.
2)      Harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
3)      Harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a)      Identitas pihak pemberi hipotek:
·         Nama lengkap;
·         Agama;
·         Tempat tinggal/tempat kedudukan;
·         Tempat lahir;
·         Tanggal lahir;
·         Jenis kelamin;
·         Status perkawinan;
·         Pekerjaan.
b)      Identitas pihak penerima hipotek, yakni tentang data seperti tersebut di atas.
c)      Harus dicantumkan hari, tanggal, dan jam pembuatan akta hipotek.
d)     Data perjanjian pokok yang dijamin dengan hipotek.
e)      Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan hipotek; yakni tentang identifikasi benda tersebut, dan surat-surat kepemilikannya.
f)       Berapa nilai penjaminannya.[10]
            Sedangkan dalam sumber lain disebutkan bahwa isi dari akta hipotek itu sendiri dibagi atas dua bagian:
1)      Isi yang wajib.
Yaitu yang berisi hal-hal yang wajib dimuat, yakni yang memuat penjelasan mengenai barang apa yang dibebani hipotek itu (tanah rumah dan lain-lain). Luasnya/ukurannya berapa, letaknya dimana, berbatasan dengan milik siapa, jumlah barang dan lain-lain.
2)      Isi yang fakultatif.
Yaitu yang berisi hal-hal yang secara fakultatif dimuat, yakni janji-janji/beding yang diadakan antara pihak-pihak (debitor dan kreditor). Tetapi sekalipun janji-janji demikian lazim dimuat dalam akta demi kepentingan para pihak sendiri, supaya lebih zeef/kuat.[11]

f.       Janji-janji dalam Hipotek
            Dalam suatu akta hipotek, dapat dibuat janji-janji khusus, yaitu:
§  Janji untuk memberi kuasa kepada kreditornya untuk menjual sendiri benda jaminan hipotek dengan kekuasaan sendiri (beding van eigenmachtige verkoop), atau yang disebut juga dengan istilah “janji lelang” (veiling beding)vide Pasal 1178 KUH Perdata.
§  Janji untuk membatasi pihak debitor dalam menyewakan benda objek jaminan hipotek (huurbeding) – vide Pasal 1185 KUH Perdata.
§  Janji agar uang asuransi atas benda objek jaminan utang diberikan kepada kreditor (asurantie beding) – vide Pasal 297 KUH Dagang.
§  Janji untuk tidak dibersihkan (beding van niet zuivering) – vide Pasal 1210 KUH Perdata.
            Seperti telah disebutkan, para pihak dalam perjanjian hipotek dapat membuat sebuah “janji lelang” (veiling beding). Dengan dimuatnya janji lelang dalam akta hipotek, maka pemegang hipotek kemudian memiliki kekuasaan yang disebut dengan parate eksekusi, yakni menjalankan eksekusi sendiri; dalam konteks ini, langsung di eksekusi melalui kantor lelang tetapi tanpa memerlukan campur tangan pengadilan sama sekali.[12]
g.      Macam-macam  Hipotek
      
            Dalam ilmu hukum dan bisnis sebenarnya banyak model penggolongan hipotek. Akan tetapi, terjadi penggolongan yang sangat spesifik dalam hukum Belanda; yang menggolongkan hipotek sebagai berikut.
·         Crediet Hypotheek
Merupakan Hipotek yang diikat berdasarkan suatu rekening Koran di Bank. Rekening Koran tersebut dapat turun naik,karna disetor atau diambil oleh pemilik rekening. Karna hal tersebut utang yang dijamin oleh Crediet Hypotheek ini tidak tetap (selalu berubah-ubah). Keuntungan dari Crediet Hypotheek adalah besarnya hipotek yang slalu dinamis sesuai kebutuhan,dan setiap kali besarnya hipotek tersebut berubah tidak perlu dibuat lagi hipotek baru,karna yang dijamin adalah kredit yang berubah-ubah besarnya dan diambil berkali-kali(revolving loan).
·         Beheers Hypotheek
Adalah hipotek yang diberikan pada saat utang yang dijaminnya belum ada,dan utang nantinya juga belum dapat dipastikan besarnya. 
·         Bauw Hypotheek
Bauw Hypotheek adalah sejenis hipotek yang diberikan untuk pembangunan sebuah gedung, dengan kredit yang dijaminkannya diambil bertahap sesuai dengan tahap berjalannya pembangunan gedung tersebut dan terdapat penentuan batas maksimum atau plafond sehingga kredit tersebut tidak boleh diambil melebihi plafond.
·         Trust Hypotheek
Adalah hipotek untuk menjamin utang, dengan utang tersebut dibuat dalam bentuk surat utang (obligasi) yang dikelola oleh wali amanat (trustee) dalam konteks ini, wali amanat bekerja dan bertindak untuk dan atas nama kreditor pemegang obligasi.
·         Bank Hypotheek
Adalah hipotek untuk menjamin utang (dari bank ataupun bukan ), yang masih belum jelas jumlahnya dan belum jelas eksistensinya, sehingga merupakan hipotek untuk utang yang sekiranya ada di masa yang akan datang.disebut dengan “Bank hypotheek” karna hipotek seperti ini sering diberikan kepada bank.
·         Crediet Verband
Atau yang disebut juga dengan “ikatan kredit”. Undang undang pokok agraria No 5 tahun 1960 tetap menjamin berlakunya Credietverband, melalui pasal 57, credietverband tidak lain dari semacam hipotek yang diberlakukan untuk orang-orang bumiputera (orang Indonesia asli) terhadap jaminan utang atas tanah-tanah adat yang belum bersertifikat. Jadi, Credieverband merupakan hipotek yang telah disederhanakan. Suatu Credietverband disamping berobjek dapat juga diikatkan terhadap benda benda diatas tanah yaitu atas bangunan atau tanaman-tanaman. Dewasa ini, Credietverband tidak berlaku lagi di Indonesia sejak keluarnya Undang-undang Hak Tanggungan No.4 Tahun !996.  

h.      Eksekusi Barang Objek Jaminan Hipotek
            Salah satu ciri dari jaminan utang kebendaan yang baik adalah manakala hak tanggungan tersebut dapat dieksekusi secara cepat melalui proses yang sederhana,efisien, dan mengandung kepastian hukum.
            Tentu saja, Hipotek sebagai salah satu jenis jaminan utang juga harus memilki unsur-unsur cepat,murah,dan pasti tersebut. Model-model eksekusi jaminan hipotek adalah:
v  Secara flat eksekusi (dengan  memakai titel eksekutorial), yakni melalui suatu penetapan pengadilan.
v  Secara parate eksekusi,yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan pengadilan) di depan pelelangan umum, apabila diperjanjikan.
v  Pihak kreditor dapat ,menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan  biasa ke pengadilan.
v  Eksekusi hipotek dengan jalan mendaku dilarang secara tegas oleh KUH perdata (pasal 118). Eksekusi secara mendaku adalah eksekusi dengan jalan pengambilan langsung benda objek jaminan hipotek oleh kreditor untuk menjadi miliknya manakala debitor tidak membayar utang yang dijamin dengan hipoteknya.

1)      Eksekusi Hipotek Dengan Titel Eksekutorial
Ada beberapa akta jaminan utang yang mempunyai titel eksekutorial yang disebut dengan istilah “grosse akta” yaitu :
·         Akta hipotek (berdasarkan Pasal 224 HIR);
·         Akta pengakuan utang (berdasarkan Pasal 224 HIR );
·         Akta hak tanggungan (berdasarkan undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996);
·         Akta fidusia (berdasarkan undang-undang fidusia No. 42 Tahun 1999).
            Menurut kitab undang-undang Hukum Acara Perdata (HIR), setiap akta yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan flat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan bahwa grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” memilki kekuatan yang sama dengan suatu kepiutusan hakim. Jika tidak dapat dieksekusi dengan jalan damai, maka surat utang yang demikian dieksekusi dengan perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri (yang daerah hukumnya mencakup tempat berdiam atau tempat tinggal debitor itu ataupun tempat kedudukan yang dipilih ) menurut cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal sebelum pasal 224 ini- tetapi, dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika putusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum Pengadilan Negeri yang memrintahkan pelaksanaan putusan itu, maka harus dituruti ketentuan dalam Pasal 195 ayat (2) dan seterusnya dari HIR. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa salah satu syarat agar suatu flat eksekusi dapat diberlakukan adalah bahwa dalam akta itu terdapat irah-irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” irah-irah inilah yang memberikan titel eksekutorial. Karna itu yang dimaksud dengan flat eksekutorial adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti. Namun ada yang tidak jelas dalam undnag-undang dan juga dalam praktek, yaitu manakala ada pihak yang keberatan atas flat eksekusi; kemana harus diajukan, bagaimana prosedur pengajuannya,dan siapa yang harus memutuskan.

2)      Eksekusi Hipotek Secara Parate Eksekusi Melalui Kantor Lelang
            Eksekusi hipotek dapat juga dilakukan oleh penerima hipotek dengan jalan mengeksekusinya melalui lembaga pelelangan umum (Kantor Lelang ) kemudian, hasil pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran piutang-piutangnya. Apabila diperjanjikan dalam akta hipotek.(lihat Pasal 1178 junctoPasal 1211 KUH perdata).
3)      Eksekusi Hipotek Tanpa Melalui Kantor Lelang
            Meskipun tidak ditegaskan dalam undang-undang, eksekusi objek jaminan hipotek dapat juga dilakukan dengan jalan menjual lelang sendiri oleh kreditornya tanpa campur tangan kantor lelang maupun pengadilan. Cara penjualan seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu varian dari eksekusi secara parate (mengeksekusi tanpa pengadilan) dengan cara menjual benda objek jaminan hipotek tersebut langsung oleh kreditor secara dibawah tangan.
4)      Eksekusi Hipotek Secara Mendaku
            Yang dimaksud dengan eksekusi Hipotek secara mendaku adalah eksekusi hipotek dengan cara mengambil barang hipotek untuk menjadi milik kreditor secara langsung, tanpa melalui suatu transaksi apapun.
            Apakah eksekusi hipotek secara mendaku ini dapat dibenarkan oleh Hukum? KUH perdata, melalui pasal 1178, secara tegas melarang eksekusi hipotek secara mendaku ini.
5)      Eksekusi Hipotek Melalui Gugatan Biasa
            Keberadaan model-model eksekusi khusus dalam KUH perdata dimaksudkan bukan untuk meniadakan hukum acara yang umum, tetapi untuk menambah ketentuan yang ada dalam hukum acara umum tersebut. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam KUH perdata, Khususnya tentang cara eksekusi hipotek, yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum melalui gugatan biasa ke Pengadilan Negeri yang berwenang. Selain itu, bukankah keberadaan model-model eksekusi khusus tersebut bertujuan mempermudah dan membantu pihak kreditor untuk menagih utangnya? Satu dan lain hal disebabkan karna eksekusi hipotek melalui gugatan biasa akan memakan waktu yang lama dan dengan prosedur yang berbelit-belit, serta kondisi ini sangat tidak praktis dan tidak efisien bagi utang dengan jaminan hipotek.  

i.        Hapusnya Hipotek
      Apabila terjadi hal-hal tertentu, maka hipotek dianggap oleh hukum telah hapus. Kejadian-kejadian tersebut adalah (lihat Pasal 1209 KUH Perdata):
·         Hapusnya perikatan pokok
·         Pelepasan hipotek oleh kreditor
·         Karena penetapan peringkat oleh hakim
            Hapusnya hipotek karena hapusnya perikatan pokok adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian hipotek,  yang merupakan perjanjian ikutan (assesoir)
            Yakni assesoir terhadap perjanjian pokonya yang berupa perjanjian utang piutang atau perjanjian yang menimbulkan utang-piutang. Jadi, jika perjanjian utang-piutang atau piutangnya lenyap karena lasan apa pun, maka jaminan hipotek sebagai ikutannya juga ikut menjadi lenyap.
            Sementara itu, hapusnya hipotek karena pelepasan hak atas hipotek oleh pemegang hipotek juga wajar ,mengingat pihak pemegang hipotek sebagai yang memiliki hak atas hipotek tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya itu.
            Ada ptosedur tertentu yang harus ditempuh manakala suatu hipotek hapus, yakni harus dicoret pencatatannya di kantor tempat pendaftaran hipotek. Selanjutnya, kantor tempat pendaftaran hipotek menerbitkan suarat keterangan yang menyatakan bahwa sertifikat hipotek yang bersangkutan sudah dicoret dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
2)    Gadai
a.      Dasar Hukum Gadai
Hak jaminan gadai diatur dalam buku II KUHPerdata, yaitu dalam Bab Kedua puluh dari Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata. Pasal-pasal mana mengatur perihal pengertiian,objek,tata cara menggadaikan, dan hal lainnya berkenaan dengan hak jaminan gadai.
Lembaga gadai menurut KUHPerdata ini masih banyak dipergunakan di dalam praktik. Kedudukan pemegang gadai di sini lebih kuat dari pemegang fidusia,karena benda jaminan berada dalam penguasaan kreditor. Dalam hal ini, kreditor terhindari dari itikad jahat (te kwader trouw) pemberi gadai. Dalam gadai, benda jaminan sama sekali tidak boleh berada dalam penguasaan (inbezitstelling) pemberi gadai.[13]
Ketentuan-ketentuan tentang gadai dalam KUHPerdata, dengan sedikit perubahan antara lain melalui S. 1875-258, S. 1917-497, S. 1938-276, merupakan ketentuan yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Kemajuan-kemajuan dalam masyarakat telah menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang semula belum terpikirkan oleh pembentuk undang-undang. Malahan, ada ketentuan-ketentuan umum yang semula memang penjaminan gadai tetapi dalam pelaksanaannya menghadapi kesulitan, karena pada waktu pembuat undang-undang menciptakan ketentuan gadai adakalanya ia hanya teringat kepada gadai benda berwujud saja. Sebgai upaya agar ketentuan yang ada bisa dilaksanakan sesuai keadaan nyata yang ada dan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan baru tersebut, maka sering kali harus memberikan penafsiran baru kepada ketentuan yang ada.
Sejak zaman Belanda hingga dewasa ini, Perum Pegadaian (Jawatan Pegadaian) telah melaksanakan kegiatan usaha dengan memberikan kredit berdasarkan sistem hukum gadai. Perum Pegadaian mana didirikan dan beroperasi berdasarkan kepada :
1.      Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah 10 tahun 1970.
2.      Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umun Pegawaian sebagaimana diperbarui dengan Peraturan pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.

b.      Istilah dan Pengertian Gadai
Istilah lembaga hak jaminan “gadai” ini merupakan terjemahan kata pand atau vuistpand (bahasa belanda), pledge atau pawn (bahasa inggris), pfand atau faustpand (bahasa jerman). Dalam hukum adat istilah gadai ini disebut dengan cekelan.
Perumusana pengertian  gadai diberikan dalam Pasal 1150 KUHPerdata sebagai berikut :
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Kata “gadai” dalam undang-undang tersebut digunakan dalam 2 arti yaitu : pertama untuk menunjuk kepadanya bendanya (benda gadai, vide  Pasal 1152 KUHPerdata); dan kedua, tertuju kepada haknya (hak gadai, seperti pada Pasal 1150 KUHPerdata).[14]
Dari perumusan Pasal 1150 KUHPerdata tersebut dapat diketahui, bahwa :
·         Gadai merupakn suatu hak jaminan kebendaan atas kebendaan bergerak tertentu milik debitur atau seseorang lain atas nama debitur untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasaan utang tertentu;
·         Gadai memberiakn hak didahulukan (voorrang, preferensi, droit de preference) kepada pemegang hak gadai atas kreditor-kreditor lainnya atas piutangnya.
·         Gadai memberikan kewenangan kepada kreditor pemegang gadai untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan melalui pelelangan umum atas barang-barang yang digadaikan setelah dikurangi biaya-biaya lelang dan biaya lainnya yang terkait dengan proses lelang.
Dibandingkan dengan privilege, terdapat perbedaaan antara gadai dengan privilege, yaitu:
1.      Gadai itu adanya karena diperjanjikan, sedang privilege timbul karena diberikan oleh undang-undang;
2.      Oleh undang-undang privilege itu diikatkan pada hubungan-hubungan hukum tertentu menjamin dengan gadai terhadap piutang-piutang, apa pun juga;
3.      Gadai (juga Hipotek) itu lebih didahulukan daripada privilege, kecuali dalan hal-hal dimana undang-undang menentukan sebaliknya.

c.       Sifat-sifat Gadai
Sebagai hak kebendaan, pada gadai melekat pula sifat-sifat hak kebendaan, yaitu: (1) barang-barang yang digadaikan tetap atau terus mengikuti kepada siapa pun objek barang-barang yang digadaikan itu berada (droit de suite); (2) bersifat mendahului (droit de preference, asas prioriteit); (3) hak gadai memberikan kedudukan diutamakan (hak preferensi) kepada kreditor pemegang hak gadai (pasal 1133, Pasal 1150 KUHPerdata); (4) dapat beralih atau dipindahkan.
d.      Subjek Hukum dalam Gadai
Dalam ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata, yang antara lain kaya-katanya menyatakan gadai adalah suatu hakk yang diperoleh seorang bepiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, maka subjek hukum dalam gadai tersebut ,yaitu pihak yang ikut serta dalam membuat/mengadakan suatu perjanjian gadai. Pihak mana terdiri atas 2 pihak, yaitu[15] :
·         Pihak yang memberikan jaminan gadai, dinamakan pemberi gadai (pandgever)
·         Pihak yang menerima jaminan gadai, dinamakan penerima gadai (pandnemer).
Berhubung kebendaan jaminannya berada dalam tangan atau penguasaan kreditor atau pemberi jaminan, maka penerima gadai dinamakan juga pemegang gadai. Namun atas kesepakatan bersama antara debitur dan kreditur, barang-barang yang digadaikan berada atau diserahkan kepada pihak ketiga berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat 1 KUHPerdata, maka pihak ketiga tersebut dinamakan pula sebagai pihak ketiga pemegang gadai.
Menurut ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (4) KUHPerdata yang antara lain menyatakan tidak berkuasanya pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggung jawabkan kepada yang berpiutang yang telah menerima barang tersebut dalam gadai, maka pada dasarnya pemberi gadai itu haruslah orang yang mempunyai kewenangan atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap kebendaan bergerak yang akan digadaikan.
Sebaliknya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (4) KUHPerdata tersebut, walaupun yang meletakkan gadai itu orang yang tidak wenang, namun hal tersebut tidak mengakibatkan perjanjian gadainya menjadi cacat hukum, karenanya dapat dibatalkan atau dituntut pembatalan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1131 KUH Perdata. Ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata menentukan pengecualian terhadap prinsip orang yang berwenang menggadaikan barang gadai, dengan menyatakan bahwa penerima gadai tidaklah dapat dipertanggungjawabkan atas kebendaan gadai yang diterimanya dari pemberi gadai yang tidak berwenang menggadaikan barang gadai.
Dengan demikian, ketidaktahuan penerima gadai atas kebendaan yang digadaikan oleh orang-orang yang tidak berwenang atau berhak menggadaikan barang gadai, maka hal itu tidak menyebabkan perjanjian gadainya menjadi batal atau tidak sah dalam hal ini pemegang gadai tetap dilindungi oleh hukum selama yang bersangkutan tidak beriktikad baik serta pemilik sejati atau asal tidak dapat menuntut barang yang digadaikan itu kembali. Namun, sebaliknya bila pemegang gadai beriktikad tidak baik atau buruk, maka yang mendapatkan perlindungan hukumnya adalah pemilik sejati atau asalnya dan pemilik sejati atau asalnya dapat menuntut kembali barang yang digadaikan tersebut asalkan tidak melebihi batas waktu tiga tahun.
Dari ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (4) KUH Perdata yang antara lain menyatakan, bahwa dengan tidak mengurangi hak orang yang kehilangan atau kecurian barang gadai itu, untuk menuntut kembali, maka sesungguhnya pemilik barang gadai yang dicuri atau hilang,tidak kehilangan haknya untuk menuntut kembali barang gadai tersebut dari tangan pemegang gadai.[16]
Pemberi gadai bisa perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menyerahkan kebendaan bergerak sebagai jaminan atau agunan bagi pelunasan utang seseorang atau dirinya sendiri kepada penerima gadai. Demikian pula penerima gadai, juga bisa perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menerima penyerahan kebendaan bergerak sebagai jaminan atau agunan bagi pelunasan hutang yang diberikan kepada pemberi gadai oleh  penerima gadai.
Di indonesia, satu-satunya lembaga yang memberikan pinjaman atau kredit berdasarkan hukum gadai (pawn shop), yaitu lembaga pegadaian yang sudah di kenal sejak zaman penjajahan Belanda. Di samping melayani pemberian kredit atau pinjaman berdasarkan hukum gadai, Perusahaan Umum Pegadaian mengembangkan produk jasa pegadaian lainnya, yaitu jasa taksiran, jasa titipan, toko emas (gold counter) dan tabungan emas ONH (Ongkos Naik Haji). Kini Perusahaan Umum Pegadaian telah berkembang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di setiap kota di seluruh Indonesia[17].
  1. Kebendaan Bergerak sebagai Objek Hukum dalam Gadai
Apabila ketentuan dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 (1), Pasal 1152 bis, Pasal 1153 dan Pasal 1158 (1) KUH Perdata, maka jelas padadasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum dalam gadai.
Pasal 1150 KUH Perdata antara lain menyatakan :
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak,..
Dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata antara lain dinyatakan :
Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa...
Pasal 1152 bis KUH Perdata antara lain menyatakan :
Untuk meletakkan gadai atas surat-surat tunjuk...
Kemudian Pasal 1153 KUH Perdata anta lain menyatakan :
Jika suatu piutang digadaikan...
Terakhir pasal 1158 ayat (1) KUH Perdata antara lain menyatakan :
Jika suatu piutang digadaikan...
Dari ketentuan di atas, jelas bahwa objek gadai berupa kebendaan bergerak, yang dapat dibedakan atas : (1) kebendaan bergerak yang berwujud atau bertubuh (lichamelijk); dan (2) kebendaan bergerak yang tidak berwujud atau bertubuh (onlichamelijk) berupa piutang atau tagihan-tagihan dalam bentuk surat-surat berharga. Surat-surat berharga tersebut macam-macam tergantung kepada jenis klausulnya, yaitu : (1) surat berharga atas pengganti (aan order, to oorder); (2) surat berharga atas pembawa (tunjuk) (aan toonder, to bearer); dan (3) surat berharga atas nama (op naam).
Selain itu, piutang yang belum ada, tetapi sudah diperjanjikan dalam perjanjian utang piutang atau hubungan hukum yang serupa dapat pula dijadikan sebagai objek hak gadai.[18]
Dewasa ini barang-barang yang umumnya dapat diterima sebagai jaminan kredit gadai oleh Perum Pegadaian di antaranya : (1) barang-barang perhiasan (emas, perak, intan, berlian, mutiara, platina, dan jam, arloji); (2) barang-barang kendaraan (sepeda, motor, mobil, bajaj, bemo, becak); (3) barang-barang eletronika (televisi, radio, komputer, kulkas, tustel, mesin tik); (4) barang-barang mesin (mesin jahit, mesin kapal motor); dan barang-barang perkakas rumah tangga (baang tekstil, barang pecah belah)[19]
Dimungkinkan gadai atas kebendaan bergerak yang tidak berwujud atau bertubuh dinyatakan dalam ketentuan dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (2), Pasal 1152 bis dan Pasal 1153 KUH Perdata. Dari ketentuan Pasal tersebut, dapat diketahui bahwa kebendaan bergerak yang tidak berwujud berupa hak tagihan atau piutang, surat-surat berharga, dapat pula digadaikan sebagai jaminan utang.
f.       Kesahan Suatu Hak gadai
Untuk terjadinya hak gadai harus memenuhi dua unsur mutlak yaitu :  pertama, harus ada perjanjian pemberian gadai (perjanjian gadai) antara pemberi gadai (debitur sendiri atau pihak ketiga) dan pemegang gadai (kreditor).
Mengenai bentuk hubungan hukum perjanjian gadai mana tidak ditentukan, apakah dibuat secara tertulis ataukah cukup dengan lisan saja; hal itu akan diserahkan kepada para pihak. Apabila dilakukan secara tertulis, dapat dituangkan dalam akta notaris maupun cukup dengan akta di bawah tangan saja. Namun yang terpenting, bahwa perjanjian gadai itu dapat dibuktikan adanya.  Ketentuan dalam Pasal 1151 KUH Perdata menyatakan, bahwa persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan pembuktian persetujuan pokoknya.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1152 KUH Peradata tersebut, maka perjanjian gadai tidak disyaratkan dalam bentuk tertentu, dapat saja dibuat dengan mengikuti bentuk perjanjian pokoknya, yang umumnya perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit bank, pengakuan utang dengan gadai barang, jadi bisa tertulis secara lisan saja.
Syarat yang kedua, yang mesti ada, yaitu adanya penyerahan kebendaan yang digadaikan tersebut dari tangan debitur pemberi gadai kepada tangan kreditor pemegang gadai. Dengan kata lain bahwa kebendaan gadainya harus berada di bawah penguasaan kreditor pemegang gadainya, sehingga perjanjian gadai yang tidak dilanjutkan dengan penyerahan kebendaan gadainya kepada kreditor pemegang gadai, maka hak gadainya diancam tidak sah atau hal itu bukan suatu gadai, dengan konsekuensi tidak melahirkan hak gadai.
Ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata menentukan, bahwa :
Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan yang berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Dari bunyi ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata dapat diketahui, bahwa hak gada akan terjadi bila :
·         Barang gadainya diletakan di bawah penguasaan kreditor pemegang gadai, artinya penguasaan barang gadainya dialihkan dari debitur pemberi gadai kepada kreditor pemegang gadai. Penguasaan barang gadai oleh kreditor pemegang gadai tidak menyebabkan barang gadai itu beralih atau menjadi milik kreditor pemegang gadai. Kreditor pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan (hak retetie) barang gadai yang diserahkan debitur pemberi gadai lunas;
·         Berdasarkan kesepakatan besama antara debitur dan kreditor, maka barang gadai tersebut dapat saja diletakkan dibawah penguasa debitur pemberi gadai, artinya barang gadai itu harus “dikeluarkan” dari penguasaan debitur pemberi gadai. Ini merupakan syarat mutlak terjadinya hak gadai.
Apabila barang gadai tersebut tetap berada dalam penguasaan debitur pemberi gadai ataupun karena kemampuan kreditor pemegang gadai diserahkan kembali penguasaannya kepada debitur pemberi gadai, maka hak gadai masih belum terjadi, walaupun sudah ada perjanjian gadainya. Perjanjian gadainya masih belum menimbulkan hak gadai, bilamana barang gadai tetap berada dalam penguasaan debitur pemberi gadai atau barang gadai masih belum diserahkan dalam penguasaan kreditor pemegang gadai. Dengan kata lain hak gadainya menjadi tidak sah. Ancaman ketidaksahan hak gadai dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut :
Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan yang berutang atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan penerima gadai.
Dalam pasal 1152 ayat (3) KUH Perdataantara lain dinyatakan, bahwa :
Hak gadai hapus, apabila barang gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai.
Berdasarkan ketentuan di atas, jelas bahwa terjadinya hak gadai itu bilamana barang gadai dikeluarkan dari penguasaan debitur pemberi gadai, walaupun barang gadai tersebut kemudian diletakkan dibawah penguasaan pihak ketiga pemegang gadai.
Apabila yang terakhir ini, maka pihak ketiga tersebut berkedudukan sebagai pemegang (houder) untuk kreditor, tetapi dengan kedudukan yang mandiri, artinya dia bukan lasthebber (kuasa) dari kreditor dan karenanya tidak tunduk kepada perintah-perintah kreditor, tetapi ia berkewajiban agar maksud perjanjian gadai terlaksana sesuai dengan yang semestinya dan baru menyerahkan barang tersebut untuk dieksekusi, kalau debitur sudah wanprestasi.
Agar memenuhi persyaratan ini penerima gadai harus menyediakan tempat penyimpanan yang layak terhadap barang-barang yang diterimanya sebagai gadai. Dalam hal ini dapat dibayangkan betapa dan berapa besarnya tempat penyimpanan tersebut apabila yang digadaikan misalnya meliputi barang-barang seperti mesin-mesin besar, alat-alat besar, prahoto, mobil dan lain sebagainya, bahkan adakalanya juga lembu dalam jumlah besar dan lain sebagainya.
  1. Cara Mengadakan Hak Gadai
Meletakkan gadai atas kebendaan yang bergerak pada umumnya dilakukan dengan cara membawa kebendaan yang hendak digadaikan tersebut dan selanjutnya menyerahkan kebendaan yang bergerak secara fisik kepada kreditor pemegang gadai untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Sedangkan gadai atas kebendaan gerak yang tidak berwujud pada dasarnya dilakukan dengan cara harus diberitahukan kepada orang yang berkewajiban melaksanakannya dan dia juga dapat menuntu supaya ada bukti yang tertulis dari pemberitahuan dan izinnya pemberi gadai.[20]
Gadai atas surat-surat atas pengganti (aan order, to order)yang memuat piutang-piutang, yang memungkin pembayaran uang kepada orang yang disebut dalam surat itu atau kepada penggantinya, maka penggadaiannya dilakukan dengan endosemen, di samping penyerahan.[21] Ketentuan dalam Pasal 1152 bis KUH Perdata menentukan, bahwa untuk meletakkan gadai atas surat-surat kepada order, diperlukan selain penyebutan haknya dialihkan kepada pemegang gadai (scara endosemen), juga penyerahan surat-suratnya secara fisik kepada pemegang gadai (kreditor). Dengan demikian gadai atas surat piutang atas pengganti harus memenuhi syarat-syarat, yaitu : (1) harus ada perjanjian gadai; (2) diperlukan endosemen; dan (3) surat piutangnya harus diserahkan kepada pemegang gadai.
Apabila surat-surat berharga yang digadaikan berupa surat-surat atau piutang-piutang atas nama (op naam), yang memungkinkan pembayaran uang kepada orang yang namanya disebut dalam surat itu, seperti saham atas nama, deposito berjangka, maka pegadaiannya dilakukan dengan memberitahukannya kepada debitur, baik secara lisan maupun tulis. Sehubungan itu, ketentuan dalam Pasal 1153 KUH Perdata menyatakan bahwa, hak gadai atas kebendaan bergerak yang tidakbertubuh, kecuali surat-surat tunjuk atau surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya, kepada orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya si pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1153 KUH Perdata, maka gadai atas tagihan-tagihan atas nama dipersyaratkan, yaitu : (1) harus ada perjanjian gadai; dan (2) harus dengan pemberitahuan mengenai penggadaian tersebut kepada orang yang berkewajiban membayar uang itu dan dia dapat menuntut supaya ada suatu bukti tertulis dari pemberitahuan dan izinnya pemberi gadai.
Gadai atas surat-surat berharga yang digadaikan berupa piutang-piutang atas pembawa (tunjuk) (aan toonder, to bearer), seperti cek, sertifikat deposito, saham, obligasi, yang memungkinkan pembayaran uang kepada siapa saja yang memegangnya, maka penggadaiannya dilakukan dengan cara membawa dan menyerahkan secara fisik surat-surat berharga yang aan digadaikan kepada kreditor pemegang gadai. Apabila debitur pemberi gadai wanprestasi, kreditor pemegang gadai dapat menuntut pembayaran sejumlah uang sesuai dengan yang tertera dalam surat-surat berhargaatas pembawa tersebut dengan menyerahkan kembali kepada debitur yang bersangkutan. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang, atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, gadai atas piutang atas tunjuk/atas bawa (aan toonder) dipersyaratkan selain harus ada perjanjian gadai, juga harus menyerahkan secara riil barang gadai dari debitur/pemberi gadai kepada kreditor/pemegang gadai.
Kalau dibandingkan ada beberapa hal perbedaan antara cessie terhadap piutang atas nama dan gadai mengenai piutang nama, yaitu
a.       Untuk adanya cessie diperlukan adanya akta (akta otentik atau akta di bawah tangan), sedangkan pada gadai perjanjiannya tidak terikat pada suatu bentuk yang tertentu )bebas)
b.      Pada cessie dengan adanya akta itu perbuatan hukum itu sudah selesai, sedangkan adanya pemberitahuan kepada debitur itu ialah supaya dbitur itu terikat oleh adanya cessie itu. Pada gadai dengan adanya akta saja perbuatan hukum itu belum selesai dan baru selesai setelah adanya pemberitahuan;
c.       Pada cessie pemberitahuan itu harus dilakukan oleh juru sita dengan exploit. Sedangkan pemberitahuan pada pand itu dapat dilakukan dengan bebas, bisa dilakukan secara tertulis maupun lisan.
  1. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pemberian Gadai
1)      Hak Pemberi Gadai
·         Berhak untuk menuntut apabila barang gadai itu telah hilang atau mundur sebagai akibat dari kelalaian pemegang gadai;
·         Berhak mendapat pemberitahuan terlebih dahulu dari pemegang gadai apabila barang gadai akan dijual;
·         Berhak mendapatkan kelebihan atas penjualan barang gadai setelah dikurangi dengan pelunasan utangnya;
·         Berhak mendapatkan kembali barang yang digadaikan apabila utang-utang dibayar lunas.

2)      Kewajiban Pemberi Gadai
·         Berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dipertanggungkan sampai pada waktu hutang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bungan;
·         Bertanggung jawab atas pelunasan utangnya, terutama dalam hal penjualkan barang yang digadaikan;
·         Berkewajiban memberikan ganti kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang gadai untuk menyelamatkan barang digadaikan;
·         Apabila telah diperjanjikan sebelumnya, pemberi gadai harus menerima jik pemegang gadai menggadaikan lagi barang yang di gadaikan tersebut[22].
3)      Hak Pemegang Gadai
·         Menahan benda yang di gadaika (hak retentie) selama debitur/ pemberi gadai belum melunasi utang pokok maupun bunga dan biaya-biaya lainnya;
·         Mengambil pelunasan dari hasil pendapatan penjuakan kebendaan yang digadaikan, penjualannya mana baik dilakukan atas dasar parate eksekusi mapun putusan pengadilan;
·         Mendapatkan penggantian seluruh biaya perawatan barang yang digadaikan guna keselamatan barang gadainya;
·         Jika piutang yang digadaikan menghasilkan bunga, maka kreditor pemegang gadai berhak atas bunga benda gadai tersebut dengan memperhitungkannya dengan bunga utang yang seharusnya dibayarkan kepadanya atau kalu piutangnya tidak dibebani dengan bunga, maka bunga benda gadai yang diterima kreditor pemegang pada gadai dikurangkan dari pokok utang.
4)      Kewajiban Pemegang gadai
·         Bertanggung jawab atas hilang atau berkurangnya nilai barang yang digadaikan yang diakibatkan oleh karena kelalaian pemegang gadainya;
·         Berkewajiban memberitahukan kpada debitur pemberi gadai, apabila ia bermaksud hendak menjual barang yang digadaikan kepada debitur pemberi gadai dengan melalui sarana pos, telekomunikasi, atau sarana komunikasi lainnya;
·         Berkewajiban untuk mengembalikan barang yang digadaikan setelah utang pokok beseta dengan bunga dan biaya-biaya lainnya telah dilunasi oleh debitur pemberi gadai;
·         Pemegang dilarang untuk menikmati barang yang digadaikan dan pemberi gadai berhak untuk menuntut pengembalian barang yang digadaikan dari tangan pemegang gadai bila pemegang gadai menyalahgunakan barang yang digadaikan;
·         Berkewajiban memberikan peringatan (somasi) kepada debitur pemberi gadai telah lalai memenuhi kewajiban membayar pelunasan piutangnya;
·         Berkewajiban menyerahkan daftar perhitungan hasil penjualan barang gadai dan sesudahnya kreditor pemegang gadai dapat mengambil bagian jumlah yang merupakan bagian dari pelunasan piutangnya.

i.        Eksekusi dan Hapusnya Jaminan Gadai
Pada dasarnya eksekusi barang jaminan gadai dilakukan dengan penjualan di muka umum melalui pelelangan dengan meminta bantuan kantor/badan lelang. Namun berdasarkan parate eksekusi, maka kreditor/pemegang gadai mempunyai wewenang penuh tanpa melalui pengadilan untuk mengeksekusi barang jaminan.[23] Hal ini dapat dilakukan bilamana sebelumnya hal tersebut sudah dijanjikan. Seperti yang dikatakan dalam ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata antara lain menyatakan, bahwa ..... setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat....
Selain itu, penjualan atas barang jaminan gadai juga dapay dilakukan secara tertutup atau tidak dilakukan penjualan di muka umum melalui pelelangan. Penjualan atas barang jaminan gadai yang demikian itu dilakukan atas perintah pengadilan, yang mana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata yang antara lain menyatakan bahwa ....  si berpiutang dapat menuntut di muka Hakim supaya barang gadainya dijual menurut cara yang ditentukan oleh Hakim ...
Sementara itu, terhadap penjualan atas barang gadai berupa surat-surat berharga dilakukan di tempat di mana surat-surat berharga di lakukan di tempat di mana surat-surat berharga itu di perdagangkan dengan syarat dilakukan melalui bantuan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan surat-surat berharga tersebut. Hal ini dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata yang menyatan bahwa jika barang gadainya terdiri atas barang-barang perdagangan atau di bursa, maka penjualannya dapa dilakukan di tempat-tempat tersebut, asal dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barang-barang itu.
Berkenaan dengan sebab-sebab berakhir atau hapusnya jaminan gadai, KUH Perdata tidak mengatur secara khusus. Namun demikian, berdasrakan Pasal-Pasal KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga hak jaminan gadai dapat diketahui hal yang menjadi dasar bagi hapus atau berakhirnya jaminan hak gadai tersebut, yaitu : (1) hapusnya perjanjian pokok atau perjanjian pendahuluan yang dijamin dengan gadai, yang dikarenakan pelunasan hutang, perjumpaan utang (kompensasi), pembaruan utang (novasi), atau pembebasan utang ; (2) lepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang hak gadai, dikarenakan terlepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang gadai, dilepaskannya benda yang digadaikannya; (3) terjadinya pencampuran, dimana pemegang gadai sekaligus juga menjadi pemilik barang yang digadaikan; dan (4) terjadinya penyalahgunaan barang gadai oleh kreditor pemegang gadai.



3.     Fidusia
a.      Istilah, Pengertian dan Sejarah Fidusia
Fidusia merupakan istilah resmi dalam dunia hukum negara Indonesia, tetapi kadang-kadang dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan Istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan Istilah fiduciare eigendom overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya fiduciary transfer of ownership. Namun terkadang dalam literatur Belanda kita jumpai pula pengungkapan jaminan fidusia dengan istilah-istilah sebagai berikut:
·         Zekerheids-eigendom (hak milik sebagai jaminan)
·         Bezitloos zekerheidsrecht (jaminan tanpa menguasai)
·         Verruimd pand begrip (gadai yang diperluas)
·         Eigendomsoverdracht tot zekerheid (penyerahan hak milik secara jaminan)
·         Bezitloos pand dan een verkapt pand recht (gadai berselubung)
Jaminan fidusia adalah suatu jaminan utang yang bersifat kebendaan (baik utang yang telah ada maupun utang yang akan ada), yang pada prinsipnya memberikan barang bergerak sebagai jaminan dengan memberikan pengusaan dan penikmatan atas benda objek jaminan utang tersebut kepada debitor (dengan jalan pengalihan hak milik atas benda objek jaminan tersebut kepada kreditor) kemudian pihak kreditor menyerahkan kembali penguasaan  dan penikmatan atas benda tersebut kepada debitornya secara kepercayaan (fiduciary).
Dalam konteks ini, apabila utang yang dijamin dengan jaminan fidusia sudah dibayar lunas sesuai yang diperjanjikan, maka titel kepemilikan atas benda tersebut diserahkan kembali oleh kreditor kepada debitor. Sebaliknya, apabila utang tidak terbayar lunas, maka benda objek fidusia tersebut harus dijual, dan dari harga penjualan itu akan diambil untuk dan sebesar pelunasan utang sesuai perjanjian, sedangkan kelebihannya (jika ada) harus dikembalikan kepada debitor. Sebaliknya, apabila dari hasil penjualan benda objek jamian fidusia ternyata tidak menutupi utang yang ada, maka debitor masih berkewajiban membayar sisa utang yang belum terbayarkan tersebut.[24]
Beberapa prinsip utama dari jamianan fdusia adalah sebagai berikut:
a.       Bahwa secara rill, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya.
b.      Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru adajika ada wanprestasi dari pihak debitur.
c.       Apabila utang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia mesti dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.[25]
d.      Jamianan fidusia merupakan jaminan ikutan (assessoir/perjanjian bantuan) yang bermakna bahwa tidak bisa berdiri sendiri (zelfstanding) dengan konsekuensi antara lain:
·         Jaminan fidusia mengikuti perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang piutang.
·         Apabila utangnya hapus atau lunas di bayar, maka fidusia pun hapus dan barang jaminan fidusia harus diserahkan kembali kepemilikan dan penguasaan kepada debitor.
·         Apabila utang yang dijamin dengan fidusia beralih ke pihak lain, maka jaminan fidusia pun ikut beralih juga.
e.       Debitor harus memelihara objek jaminan fidusia dengan baik, tidak boleh dialihkan, disewakan, digadaikan, dan sebagainya.
f.       Berlakunya prinsip droit de suit
g.      Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah utangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.
h.      Jaminan fidusia dapat dapat diikat atas benda yang sudah ada maupun atas benda yang baru akan ada dikemudian hari.
i.        Jaminan fidusia dapat dapat diikat atas bangunan atau rumah yang terletak di tanah milik orang lain.
j.        Pemberi jaminan fidusia haruslah pihak yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.
k.      Jaminan fidusia tidak daapt dipisah-pisah. Dalam konteks ini, meskipun fidusia dapat diikat untuk beberapa kreditor sekaligus tetapi benda objek jaminan fidusia dari satu fidusia untuk seluruh kreditor tersebut tidak dapat dibagi-bagi, maksudnya menentukan bahwa bagian tertentu dari objek jaminan adalah untuk kreditor tertentu juga.
l.        Objek fidusia tidak dapat dipecah-pecah (split) ataupun digabung.
m.    Berlaku asas publisitas: suatu jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia agar dapat dilihat oleh public.
n.      Fidusia terdafatr mendapat prioritas pembayaran lebih dulu daripada fidusia yang tidak didaftarkan.
o.      Tidak boleh dieksekusi secara mendaku.tinya , benda objek jaminan fidusia tidak dapat dieksekusi menjadi langsung milik kreditor, meskipun diperjanjikan seperti itu oleh para pihak.
Selain itu, agar peralihan hak dalam konstruksi hukumtentang fidusia ini sah maka harus memenuhi syarat-syarat berikut (Sofwan, Sri Soedewi Mascjhoen, 1977:27):
·         Terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk;
·         Adanya titel untuk suatu peralihan hak;
·         Adanya kewenagan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda;
Cara tertentu untuk penyerahan. Yakni, dengan cara constitutum possessorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali)bagi benda bergerak yang berwujud,dan dengan cara cessie untuk utang piutang.


1)      Konstruksi Yuridis terhadap jaminan Fidusia
Munculnya jaminan fidusia sangat kental berdampingan dengan rekayasa (dalam arti positif). Berikut asal-muaslnya.
Sistem hukum Belanda dahulu dikenal gadai (pand) untuk jaminan barang bergerak. Dalam gadai seperti ini, barang objek jaminan utang diserahkan kepada kreditor. Sementara jaminan untuk barang tidak bergerak hanya dikenal berupa hipotek, yang barang objek jaminan utangnya tidak diserahkan ke dalam kekuasaan kreditor.Jadi tidak dikenal jaminan untuk barang bergerak yang bukan gadai, padahal dalam praktik dibutuhkan jaminan  barang bergerak yang tidak menyerahkan benda objek jaminan utang kepada kreditor.
Sedangkan hipotek mensyaratkan penyerahan benda dan hanya diperuntukkan terhadap barang tidak bergerak saja. Padahal dalam praktik ada kebutuhan untuk menjaminkan barang bergerak, tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik. Akhirnya, muncullah suatu rekayasa untuk memenuhi kepentingan praktik seperti itu dengan jalan pemberian jaminan fidusia, yang berlaku di negeri Belanda dan di Indonesia.
Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk global yang disebut “ constitutum possessorium ” (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik sama sekali). Ditempuh melalui tiga fase, yaitu:
FASE I: Fase perjanjian Obligator (obligatoir overeenskomst), yaitu perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia di antara pihak pemberi  fidusia (debitor) denagn pihak penerima fidusia (kreditor).
FASE II: Fase perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst), perjanjian kebendaan yaitu penyerahan hak milik dari deibitor kepada kreditor, dalam hal ini dilakukan secara constitutum possessorium.
FASE III: Fase perjanjian pinjam pakai, dalam fase ketiga ini dilakukan perjanjian pinjam pakai. Benda objek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak kreditor tersebut dipinjampakaikan kepada pihak debitor. Benda tersebut, setelah diikat dengan jaminan fidusia, praktis tetap saja dikuasai secara fisik oleh pihak debitor.
Dari ketiga fase tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruksi tersebut adalah konstruksi rekayasa yang sekedar mencari jalan agar fidusia dapat dijadikan jaminan atas benda bergerak tanpa perlu menyerahkan benda secara fisik kepada kreditor. Tetapi dalam UU Fidusia No. 42 Tahun 1999 pada prinsipnya tetap memberlakukan fidusia dengan konsep penyerahan hak milik, tidak semata-mata jaminan saja.
Di samping itu, berbarengan denga teori kepemilikam/title theory (dalam hal fidusia, titel kepemilikan atas benda jaminan fidusia sudah beralih dari debitor kepada kreditor, meskipun kemudian fisik benda tersebut diserahkan kembali kepada debitur) terdapat juga apa yang disebut dengan teori “jaminan” (lien theory). Teori jaminan mengajarkan bahwa fidusia hanya menimbulkan suatu jaminan utang saja, seperti juga dengan jaminan utang lainnya semisal hipotek atau gadai, tanpa ada peralihan kepemilikan atas benda objek jaminan tersebut. Sebenarnya, untuk sebuah jaminan utang seperti fidusia, teori jaminan yang lebih reasonableuntuk dianut. Karena dalm satu dan lain hal, penerapan title theory dilatarbelakangi oleh akal-akalan akibat kevakuman hukum semata-mata (tidak ada hukum yang mengakui lembaga jamianan benda bergerak yang barangnya tidak diserahkan). Akan tetapi, dengan adanya undang-undang berarti hukum tersebut tidak kosong lagi, sehingga akal-akalan seperti itu tidak diperlukan lagi..
Karena itu, tidak mengherankan ketika hukum positif Indonesia menganut sistem fidusia dengan teori kepemilikan, untuk itu diperlukan banyak pengkecualian terhadap teori tersebut.Namun dalam hal berlaku tori kepemilikan tetapi unsur-unsur dari teori jaminan tetap diperlakukan.
Dasar dari fidusia adalah suatu perjanjian, yakni perjanjian fidusia. Perikatan yang menimbulkan fidusia ini mempunyai karakteristik sebagi berikut (Oey Hoey Tiong, 1985:32):
a.       Antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia terdapat suatu hubungan perikatan yang menerbitkan hak bagi kreditor untuk meminta penyerahan barang jamiana dari debitor (secara constitutum possessorium) kepada kreditor.
b.      Perikatan tersebut adalah perikatan untuk memeberikan sesuatu, karena debitor menyerahkan suatu barang (secara constitutum possessorium) kepada kreditor.
c.       Perikatan dalam rangka pemberian fidusia merupakan perikatan yang assessoir.
d.      Perikatan fidusia tergolong ke dalam perikatan dengan syarat batal, karena jika utangnya dilunasi maka hak jaminannya secara fidusia menajdi hapus.
e.       Perikatan fidusia tergolong ke dalam perikatan yang bersumber dari suatu perjanjian, yakni perjanjian fidusia.
f.       Perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong ke dalam perjanjian tidak bernama.
g.      Perjanjian fidusia tetap tunduk kepada ketetuan bagian umum dari perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata.

2)      Sejarah Fidusia
Dalam sejarah terlihat bahwa sebenarnya lembaga fidusia dalam bentuk klasik sudah dibentuk sejak zaman Romawi. Dalam konstruksi hukum ini, barang-barang debitor diserahkan kepemilikannya kepada kreditor, tetapi dimaksudkan hanya sebagi jamian utang. Berbarengan dengan itu, di Romawai terdapat pula istilah fiducia cum amico, tetap hanya dimaksudkan sebagai pengangkatan seorang wakil untuk memelihara kepentingannya. Jadi, tidak ada penyerahan hak milik atau jaminan utang sebagaimana dilakukan dalam pengikatan fidusia saat ini.
Kemudian, dalam sejarah hukum di Romawi (di penghujung zaman klasik) berkembang pula lembaga pand (gadai) dan hipotek (hak tanggungan) sehingga peranana lembaga fidusia sebagai jaminan utang mulai berkurang, sampai kemudian peranan dan eksistensinya lenyap sama sekali sejak zaman klasik di bawah pemerintah Justianus. Walupun begitu hukum Romawi tetap diadopsi oleh negara-negara Eropa Kontinetal, sehingga mereka tidak kenal lembaga fidusia. Waktu itu yang ada hanyalah pand untuk benda bergerak dan hipotek untuk benda tidak bergerak.
Namun dalam praktek hukum di negara-negara Eropa Kontinental dirasakan bahwa pand dan gadai eksistensinya belum cukup, khususnya jika ada pembebenan jaminan terhadap barang bergerak yang fisik bendanya tidak perlu dialaihkan kepada kepada pihak kreditor. Dengan menyadari kebutuhan dalam praktik tersebut, akhirnya dimunculkan kembali lembaga fidusia (dalam bentuk yang modern) sebagai jaminan utang lewat konstruksi yang unsur rekayasa sangat kental. Kemudian jaminan fidusia dalam bentuk yang modern diterima baik dalam praktik hukum dan diakaui oleh yurisprudensi. Dewasa ini banyak negara yang sudah mempunyai undang-undang yang mengatur tentang fidusia. Termasuk Indonesia didalamnya dengan Undang-undang No. 42 Tahun 1999.
Jadi munculnya konsep fidusia bermula dari adanya pemisahan benda menjadi benda bergerak (movable) dan benda tidak bergerak (immovable).
a.       Sejarah Fidusia di Negeri Belanda
Sejarah lahirnya lembaga fidusia di negeri Belanda tidak terlepas dari kebutuhan dan keadaan perekonomian saati itu. Pada abad ke-19, di negeri Belanda terjadi kemerosotan hasil panen sehingga perusahaan-perusahaan pertanian sangat membutuhkan modal, sementara hipotek tidak dapat diandalkan sebab para petani hanya mempunyai tanah yang sangat terbatas untuk dapat dijadikan jamina utang. Disamping itu, agar para petani dapat mengambil kreditnya selain hipotek, bank-bank saat itu juga memerlukan jaminan lain dalam bentuk gadai. Akan tetapi, para petani tidak dapat menyerahkan barang-barangnya untuk digadaikan karena dibutuhkan untuk proses produksi pertanian. Maka di carikan solusi lain oleh negara Belanda namun belum juga dirasakan pas. Akhirnya , di negara Belanda mulilah dihidupkan kembali bentuk pengalihan hak milik secara kepercayaan atas barang-barang bergerak, sebagaimana prototip yang telah dipraktekkan secara klasik di zaman Romawi, yang disebut dengan fidusia cum creditorei. Di negara Belanda diakui lembaga fidusia oleh yurisprudensi lewat putusan pertamanya tentang fidusia, yaitu putusan tanggal 25 Januari 1929.N.J.1929, 616 yang popular dengan nama Bierbrouwerij Arrest.
Dalam putusan Bierbrouwerij Arrest tersebut dinyatakan bahwa jaminan fidusia tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan/menggagalkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh undang-undang secara tidak pantas. Dalam konteks fidusia dianggap legal diamata pengadilan.
Putusan Hoge Raad (HR) dalam Bierbrouwerij Arrest mengakui jaminan fidusia dengan pertimbangan (Badrulzaman, Mariam Darus, 1979:91):
1.      Perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan aturan tentang gadai, karena maksud para pihak tersebut bukanlah untuk membuat pengikatan gadai
2.      Perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan paritas creditorium, karena perjanjian tersebut mengenai barang-barang milik Heineken (kreditor), bukan milik Bos (debitor)
3.      Perjanjian fidusia tersebut tidak bertentangan dengan asas kepatutan,
4.      Perjanjian tersebut bukan merupakan penyuludupan hukum yang tidak diperbolehkan.
Catatan:
Dalam putusan HR tersebut, curator diperintahkan untuk menyerahkan benda objek fidusia kepada Heineken.
Setelah putusan Hoge Raad Belanda dalam Bierbrouwerij Arrest ini, maka muncul lagi putusan-putusan HR lainny, misalnya putusan yang merupakan arrest kedua berupa Hakkers-van Tilburg Arrest (putusan HR tanggal 21 Juni 1929, N.J. 29-1096) yang membenarkan fidusia terhadap mobil. Setalah itu, banyak putusan-putusan HR lainnya yang menyatakan:
·         Putusan yang secara analogi memberlakukan undang-undang kepailitan mengenai gadai dan hipotek kepada fidusia;
·         Putusan yang memberlakukan ketentuan-ketentuan gadai secara mutatis mutandis terhadap fidusia;
·         Putusan yang mengakui fidusia sejauh tidak langsung menyangkut dengan pihak ketiga;
·         Putusan yang memberikan hak preferens dari penjual atas harga barang yang belum dibayar (hak reklame) dari hak fidusia.

b.      Sejarah Fidusia di Beberapa Negara Lain
Jika telusuri sejarah, sebenarnya lembaga fidusia dengan berbagai variasinya telah dipraktikkan juga di beberapa negara maju lainnya selain Belanda (Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1982:79).
Di Jerman, dalm praktik bahkan sebelum tahun 1900 telah dikenal sejenis jaminan atas benda bergerak yang penguasaannnya tidak diserahkan kepada kreditor, mirip dengan lembaga fidusia. Misalnya lembaga seicherungsubereignung terdapat benda-benda bergerak atas piutang
Di negara-negara yang berlaku hukum Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat juga sudah lama dikenal gadai atas benda bergerak tanpa penyerahan kekuasaan atas benda kepada pihak kreditor, yaitu yang dikenal dengan chattel mortgage.
c.       Sejarah Fidusia di Indonesia
Di Indonesia lembaga fidusia berkembang melaui yurisprudensi, sebelum diterbitkan UU khusus tentang fidusia, yaitu UU No. 42 Tahun 1999.
Tercatat dalam sejarah hukum Indonesia bahwa lembaga fidusia pertama kali diakui oleh yurisprudensi Indonesia dengan putusan HGH tanggal 18 Agustus  1932 dalam kasus BPM (penggugat) melawan pedro Clignett.
Setelah putusan BPM tersebut, baik Mahkamah Agung di zaman kemerdekaan telah memberikan beberapa putusan, yang menyimpulkan bahwa:
1.      Lembaga fidusia hanya diperunyukkan terhadap benda bergerak.
2.      Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran.
3.       Menegaskan bahwa kreditor pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya tetapi hanay sebagai pemegang jaminan utang saja, sehingga jika uatang tidak dibayar maka pihak kreditor tidak dapat langsung memiliki benda tersebut.
b.      Akta Jaminan Fidusia
Pembebanan fidusia dilakukan denagn menggunakan instrument yang disebut dengan akta jaminan fidusia. Akata jaminan fidusia ini harus memenuhi syarat, sebagai berrikut:
1)      Harus berupa akata notaris
2)      Harus dibuat dalam bahasa Indonesia
3)      Harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagi berikut:
a.       Identitas pihak pemberi fidusi
·         Nama lengkap
·         Agama
·         Tempat tinggal/tempat kedudukan
·         Tempat lahir
·         Tanggal lahir
·         Jenis kelamin
·         Status perkawinan
·         Pekerjaan
b.      Identitas pihak penerima fidusia, dengan rincian yang sama seperti pihak pemberi fidusia
c.       Hari, tanggal, dan jam pembuatan akta fidusia
d.      Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
e.       Nilai pinjamannya
f.       Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut.

c.       Utang Yang Dijamin Dengan Fidusia
Menurut pasal 1 angka 7, yang dimaksud dengan utang dalam konteks ini adalah suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam sejumlah uang, baik secara langsung ataupun secara kontinjen.
Karena itu, utang-utang yang dapat dijamin dengan fidusia adalah:
1.      Utang yang telah ada.
2.      Utang yang akan ada dikemudian hari (kontijen), tetapi telah diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu
3.      Utang yang dapat ditentukan jumlahya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi.

d.      Fidusia Ulang
Fidusia ulang adalah pembebanan fidusia pada benda yang sebelumnya telah dibebani fidusia. Pada prinsipnya fidusia tidak dapat dibenarkan. Sebabnya, UU tersebut masih menganut prinsip fidusia bukan sebagi jamianan utang semata-mata. Dalam konteks ini, yang dianut adalah teori kepemilikan. Jadi, jika kepemilikan sudh diserahkan kepada kreditor tertentu, maka pikah debitor tidak mungkin menyerahkannya lagi kepada kreditor yang lain.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa fidusia tidak mungkin diberikan kepada lebih dari satu kreditor, kecuali jiak diberikan secara bersama-sama pada waktu yang juga bersamaan dan semua kreditor saling mengetahui adanya dua atau lebih kreditor tersebut.
e.       Objek Jaminan Fidusia
Ketentuannya terdapat dalam pasal (1) ayat (4), pasal 9, pasal 10, dan pasal 20 UU tentang fidusia No. 42 Tahun 1999. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:
1.      Benda yang harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
2.      Benda berwujud.
3.      Benda tidak berwujud, termasuk didalamnya berupa piutang.
4.      Benda bergerak.
5.      Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.
6.      Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotek.
7.      Benda yang sudah ada, maupun tehadap benda yang akan diperoleh kemudian.
8.      Satu-satuanatau jenis benda.
9.      Hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.
10.  Hasil klaim asuransi  dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
11.  Benda persedian/stok perdagangan
12.  Pesawat terbang dan helikopter yang telah terdaftar di Indonesia. Menurut pasal 9 UU No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan, pesawat udara sipil maupun militer yang beroperasi di Indonesia wajib didaftarkan. Selanjutnya pasal 12 UU tersebut memgatur bahwa pesawat terbang dan helicopter yang telah terdaftar di Indonesia dapat diikat dengan hipotek, kemudian hipotek itu harus didaftarkan sebagaimana yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Akan tetapi UU Penerbangan No. 1 Tahun 2009, yang tidak lagi menyebut-nyebut tentang hipotek atas pesawat udara dan helicopter. Jadi hipotek kembali hanya dapat diikat pada kapal laut; sedangakan pesawat terbang dan helicopter hanya dapat diikat dengan jamiann fidusia.
Dalam hukum Anglo Saxon, pembebanan fidusia yang berobjekkan barang persedian dikenal dengan nama floating lien atai floating charge. Yang dimaksud dengan floating (pengambangan) adalah karena jumlah benda yang menjadi objek jaminanannya sering berubah-ubah , sesuai dengan persediaan stok yang mengikuti irama pembelian dan penjualan.
Di inggris, fidusia terhadap benda persediaan (floating charges) ini sudah diikuti oleh pengadilan sejak tahun 1870 dalam kasus re Panam, New Zealand and Australian Royal Mail Co (Arora, Anu, 1997:330). Dalam kasus ini, untuk pertama kali diakui adanya jaminan mengambang (floaying charges) tersebut. Dalam kasus itu, diputuskan bahwa pemegang surat utang (debenture) mempunyai hak prioritas atas kreditor konkuren terhadap semua barang milik perusahaan (debitor) yang ada sekarang, di waktu lalu, dan di waktu yang akan datang. Setelah kasus panama ini, di Inggris kemudian terdapat banyak kasus lain yang mengakui fidusia dalm bentuk floating charges.
Sifat mengambang (floating) dari floating charges ini berubah menjadi spesifik (specific charges) ketika terjadi suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi. Tindakan kristalisasi ini muncul apabila terjadi keadaan-keadaan:
·         Pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan
·         Wanprestasi atau surat berharga yang dijamin dengan floating charges
·         Pengangkatan receiver (Kurator) oleh pengadilan[26]
f.       Ketentuan undang-undang berkenaan dengan pembebanan fidusia [27]
Sebagaimana diketahui, UU tentang fidusia No. 42 Tahun 1999 di buat untuk mengatur masalah pembebanan fidusia. Selangkapnya pengaturan tersebut sebagai berikut:
Di jabarkan dalam pasal 4, 5, 6, 7, 8 ,9 ,10
1)      Pendaftaran Fidusia
Fidusia lahir dalam praktik hukum yang di tuntun oleh yurisprudensi, baik yurisprudensi Belanda   maupun yirisprudensi Indonesia. Sebagai pranata hukum yang ;lahir dari praktik, dan juga tidak mendapat pengaturan yang berarti dalam peraturan perundang-undangan , maka tidak ada pengaturan sari segi procedural dan proses.
Ketidakadaan kewajiban pendaftaran fidusia sangat dirasakan dalam praktik sebagai kekurangan dan kelemahan bagi pranata hukum fidusia. Sebab, disamping menumbuhkan ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut menyebabkan jaminan fidusia tidak memenuhi unsur publisitas sehingga sulit dikendalikan.[28]
Mengingat betapa pentingnya fungsi pendaftaran suatu jaminan, termasuk didalamnya jaminan fidusia ini, UU tentang fidusia No. 42 Tahun 1999 mengaturnya dengan mewajibkan setiap jaminan fidusia untuk didaftarkan kepada pejabat yang berwenang.
2)      Asas Publisitas dari Jaminan Fidusia
Salah satu ciri jaminan utang yang modern adalah terpenuhinya unsur publisitas. Maksudnya, dengan semakin terpublikasinya suaut jaminan utang maka akan semakin baik, karena kreditor ataupun khalayak ramai dapat mengetahuinya atau mempunyai akses untuk mengetahui informasi-informasi penting disekitar jaminan utang tersebut. Asas publisitas ini menjadi semakin penting terhadap jaminan-jaminan utang yang fisik objek jaminannya tidak diserahkan kepada kreditor, seperti halnya jamiann fidusia ini salah satunya.
Karena itu, kewajiban pendaftaran jaminan fidusia ke instansi yang berwenang merupakan salah satu perwujudan asas publisistas yang sangat penting. Dengan pendaftaran ini, diharapkan agar pihak kreditor terutama yang nakal tidak dapat lagi mengakali kreditor atau calon kreditor dengan fidusia ulang atau abahkan menjual barang objek jaminan fidusia tanpa sepengetahuan kreditor asal.
3)      Kewajiban Pendaftaran Fidusia
Kewajiban pendaftaran fidusia bersumber dari pasal 11 UU tentang fidusia No.42 Tahun 1999 pendaftaran fidusia dilakukan kepada kantor pendaftaran fidusia ditemapat kedudukan pihak pemberi fidusia :
a.       Benda objek jaminan fidusia yang berada didalam negeri (Pasal 11 Ayat 1) .
b.      Benda objek jaminan fidusia yang berada didalam negeri (Pasal 11 Ayat 2).
c.       Terhadap Perubahan Isi Sertifikat Jaminan Fidusia (PAsal 16 Ayat 1). Perubahan ini tidak perlu dilakukan dengan akta notaris tetapi perlu diberitahukan kepada para pihak.

4)      Kantor Pendaftaran Fidusia
Tempat pendaftran fidusia adalah di kantor pendaftaran fidusia yang berada dibawah naungan Departemen Kehakiman RI. Untuk sementara, kantor pendaftaran fidusia hanya didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja meliputi seluruh Indonesia. Secara bertahap akan didirikan di Ibukota Provinsi sesuai kebutuhan.
Pendaftaran kepada kantor pendaftaran fidusia di daerah-daerah dapat disesuaikan dengan UU tentang Pemerintah Daerah No.22 Tahun 1999.
5)      Buku Daftar Fidusia
Pencatatan tersebut diberi tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Ketika mencatat dalam buku daftar fidusia, kantor pendaftaran fidusia tidak berwenang melakukan penilaian terhadap keberadaan data yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Petugas pendaftaran hanya berwenang melakukan pengecekan data saja, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal tentang ketentuan mengenai pernyataan pendaftaran ini.
6)      Persyaratan Pendaftaran Fidusia dan Pernyataan Perubahan
Permohonan pendaftaran fidusia disampaikan kepada kantor pendaftaran fidusia dengan melampirkan naskah “Pernyataan Pendaftaran Fidusia”. Dalam pernyataan pendaftaran fidusia dimuat hal-hal sebagai berikut :
a.       Identitas pihak pemberi fidusia.
b.      Identitas pihak penerima fidusia.
c.       Tanggal dan nomor akta jaminan fidusia.
d.      Nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta  jaminan fidusia.
e.       Daftar perjanjian pokok (Perjanjian Utang yang dijamin dengan Fidusia).
f.       Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia .
g.      Nilai penjaminan
h.      Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

7)      Sertifikat Jaminan Fidusia dan Kekuatan Pembuktian
Sebagai bukti kepemilikan hak fidusia, kepada penerima fidusia diserahkan dokumen “Sertifikat Jaminan Fidusia”.
Karena sertifikat jaminan fidusia dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwenang yaitu kantor pendaftaran fidusia, sertifikat tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sebagai suatu akta otentik. Selain itu, hanya kantor pendaftaran fidusia yang berwenang mengeluarkan sertifikat penjaminan fidusia. Karena itu pula, jika ada alat bukti sertifikat jaminan fidusia dan sertifikat tersebut adalah sah, maka alat bukti laind alam bentuk apapun harus ditolak.
8)      Ketentuan UU Berkenaan dengan Pendaftaran Fidusia
Diatur dalam Pasal 11,12,13,14,15,16,17,18

a.      Hak Referensi dari Pemegang Fidusia
Hak referensi adalah hak dari kreditor pemegang jaminan tertentu untuk diberikan haknya terlebih dahulu (Dibandingkan dengan kreditor lainnya) atas pelunasan utangnya, yang diambil dari hasil penjualan barang jaminan utang tersebut. Dalam hubungan dengan hak referensi dari penerima jaminan fidusia, pasal 27 ayat 2 UU fidusia No.42 Tahun 1999.
Ø  Hak Preferensi Penerima Fidusia dalam Hubungan dengan Kepailitan dan Likuidasi
Hak preferensi dari penerima fidusia tidak hilang dengan pailit atau dilikuidasiya debitor. Pernyataan ini seirama dengan ketentuan hukum pailit yang bersumber dari UU kepailitan No.4 Tahun 1998.  Dengan demikian, jika debitor pailit maka pihak penerima fidusialah yang terlebih dahulu menerima pelunasan utangnya daiambil dari penjualan barang objek fidusia. Setelah itu jika ada sisa, baru diberikan kepada kreditor lainnya.
Ø  Hak Preferensi diantar Lebih dari Satu Penerima Fidusia
1.      Jika system pendaftarannya berjalan secara baik dan benar, hamper tidak mungkin ada pendaftaran fidusia yang kedua.
2.      JIka Fidusia tidak mungkin didaftarkan, maka fidusia yang tidak terdaftarkan tersebut sebenarnya tidak eksis, karena fidusia dianggap lahir setelah didaftarkan (Pasal 14 ayat 3).
3.      Fidusia ulang memang dilarang oleh UU Fidusia No.42 Tahun 1999 pasal 17.

Ketentuan UU yang Bersangkutan dengan Hak Preferensi diatur dalam UU Fidusia No. 42 Tahun 1999 dalam Pasal 27 dan 28.
Pengalihan dan hapusnya fidusia di bagi menjadi :
1.      Pengalihan benda objek jaminan fidusia;
2.      Benda persediaan sebagai objek fidusia ;
3.      Pengalihan objek jaminan fidusia oleh pemberi fidusia;
4.      Tanggung jawab penerima fidusia ats kesalahan pemberi fidusia;
5.      Hapusnya jaminan fidusia.
Ketentuan di atas di atur dalam UU fidusia No. 42 tahun 1999, pasal 19 sampai 26
Eksekusi objek jaminan fidusial di bagi menjadi[29] :
1.      Eksekusi fidusial dengan title eksekutorial;
2.      Eksekus  fidusia secara parate eksekusi melalui kantir lelang;
3.      Eksekusi fidusia secara parate eksekusi melalui penjualan di bawah tangan;
4.      Eksekusi fidusia secara lelang sendiri tanpa melalui kantor lelang;
5.      Eksekusi fidusia secara mendaku;
6.      Eksekusi fidusia terhadap barang perdagangan dan efek  yang dapat di perdagangkan;
7.      Eksekusi fidusia  lewat gugatan biasa;
8.      Eksekusi fidusia menurut UU rumah susun No. 16 tahun 1985
Ketentuan-ketentuan diatas di atur dalam UU fidusia No. 42 tahun 1999, pasal 29 sampai 34.
4)    Hak Tanggungan
a.      Pengertian
Sebagaimana diketahui, di Indonesia pada awal berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku sebagai penjaminan tanah terhadap utang adalah hipotek, namun  sesudah diberlakukannya UUHT, pembebasan ha katas tanah sebagai jaminan hutang tidak lagi menggunakan jaminan hipotek, melainkan menggunakan jaminan Hak Tanggungan.[30]Sedangkan gadai berlaku terhadap jaminan atas benda-benda bergerak.Disamping itu, dalam praktek dahulu dikenal pula jaminan utang yang disebut dengan istilah “fidusia”.[31]
Perlu juga diketahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak tanggungan?
Ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UUHT merumuskan pengertian Hak Tanggungan, yaitu : Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada ha katas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda yang merupakan stu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelumasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.[32]
 Sebenarnya, hak tanggungan adalah suatu hak kebendaan yang harus dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan serta bersifat assessoir dan eksekutorial, yang diberikan oleh debitor kepada kreditor sebagai jaminan atas pembayaran utang-utangnya yang berobjekkan tanah dengan atau tanpa segala sesuatu yang ada di atas tanah tersebut, yang memberikan hak prioritas bagi pemegangnya untuk mendapat pembayaran utang terlebih dahulu daripada kreditor lainnya meskipun tidak harus yang mendapat pertama, yang dapat dieksekusi melalui pelelangan umum atau bawah tangan atas tagihan-tagihan dari kreditor pemegang hak tanggungan, dan yang mengikuti benda objek jaminan kemanapun objek hak tanggungan tersebut dialihkan.
b.      Prinsip-prinsip Hak Tanggungan
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, maka terpenuhilah sudah manah dari pasal 57 Undang-undang pokok Agraria. Pasal tersebut menghendaki segera dibentuk suatu Undang-undang tentang Hak Tanggungan. Adapun yang merupakan ciri-ciri hak tanggungan menurut Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 adalh seperti yang disebutkan dalam memori penjelasannya, yaitu: 
·         Memberikan hak preferensi kepada pemegangnya;
·         Mengikuti objek yang dijamin, dalam tangan siapapun objek itu berada;
·         Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum.
·         Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Adapun yang berkenaan dengan asas-asas tentang Hak Tanggungan ini, Prof. Sutan Remy Syahdeini (1999: xi) menyebutkan 14 asas hak tanggungan, yaitu :
1.      Memberikan kedudukan prioritas bagi kreditor pemegang hak tanggungan (berlaku prinsip droi de preference).
2.      Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (dengan beberapa kekecualian). Pada prinsipnya, roya parsial tidak dimungkinkan.
3.      Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang sudah ada saja.
4.      Selain atas tanahnya, hak tanggungan juga dapat dibebenkan keatas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut. Dapat juga dibebankan atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari yang berkaitan dengan tanah tersebut.
5.      Perikatan hak tanggungan bersifat asessoir.
6.      Hak tanggungan juga dapat diikatkan kepada utang yang baru aka nada dikemudian hari.
7.      Hak tanggungan dapat juga menjamin terhadap lebih dari satu utang.
8.      Hak tanggungan mengikuti benda objeknya, ditangan siapapun benda tersebut berada (berlaku prinsip droit de suite).
9.      Terhadap objek hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan.
10.  Objek hak tanggungan hanya mencakup tanah-tanah tertentu (berlaku asas spesialitas).
11.  Hak tanggungan wajib didaftarkan (berlaku asas publisitas).
12.  Terhadap hak tanggungan dapat diberikan janji-janji tertentu.
13.  Jika mengeksekusi hak tanggungan, maka tidak boleh  dengan cara mendaku (langsung menjadi milik kreditor).
14.  Eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti. Dalam konteks ini, sertifikat hak tunggangan bersifat eksekutorial.
c.       Objek dan Subjek Hukum dalam Hak Tanggungan
Objek hak tanggungan, yaitu benda atau hak apa saja yng dapat dikaitkan dengan hak tanggungan, adalah :
§  Hak milik atas tanah;
§  Hak guna usaha;
§  Hak guna bangunan;
§  Hak pakai atas tanah Negara, sepanjang hak pakai tersebut didaftarkan dan hak pakai tersebut mempunyai sifat yang dapat dialihkan;
§  Hak pakai atas tanah hak milik;
§  Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau yang aka nada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut;
§  Rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun;
§  Bawah tanah, sepanjang secara fisik ada hubungannya dengan bangunan yang ada diatas tanah.
Karena hak tanggungan merupakan hak kebendaan, maka keberdaan benda objek jaminan merupakan syarat yang sangat penting bagi eksistensi suatu jaminan utang. Bukan hanya itu, bahkan hak tanggungan akan mengikuti benda objek jaminan utang, kemanapun benda tersebut berada atau dialihkan. Pasal 7 dari Undang-undang Hak Tanggungan dengan tegas menentukan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya, kedalam tangan siapapun objek tersebut berada.
Dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT ditentukan, bahwa subjek hukum dalam Hak Tanggungan terdiri atas Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan bias orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Hal mana harus ada pada Pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pad saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berbeda dengan pemberi Hak Tanggungan, terhadap penerima dan pemegang Hak Tanggungan tidak terdapat persyaratan khusus. Penerima dan pemegang Hak Tanggungan juga dapat orang perseorangan tau badan hukum, bahkan orang asing atau badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia maupun diluar negeri dapat menjadi penerima dan pemegang Hak Tanggungan, aslkan kredit yang diberikan tersebut menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia. Dengan demikian yang menjadi pemegang Hak Tanggungan, bias orang (person alamiah) dan badan hukum (rechtspersoo).Pengertian badan hukum disini hendaknya diartikan secara luas, tidak hanya perseroan terbatas, koperasi, atau yayasan, melainkan termasuk pula persekutuan lainnya, misalnya persekutuan komanditer (CV).[33]
d.      Janji-janji dalam Hak Tanggungan
Salah satu dokumen wajib dalam pemberian hak tanggungan adalah Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dibuat oleh pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Akta Pemberian Hak Tanggungan berisikan hal-hal yang biasa dalam suatu akta: identitas dan domisili para pihak, penyebutan tentang utang yang dijamin, penyebutan tentang objek hak tanggungan, ataupun penyebutan nilai tanggungan. Di samping itu, akta hak tanggungan dapat pula diisi dengan janji-janji sebagai berikut :
·         Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewa dan atau menentukan atau mengubah sewa atas objek hak tanggungan;
·         Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk dan atau susunan objek hak tanggungan;
·         Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola tanah objek hak tanggungan;
·         Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan tanah objek hak tanggungan;
·         Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama akan mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaannya sendiri terhadap tanah objek hak tanggungan apabila debitor dalam keadaan wanprestasi;
·         Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan;
·         Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas tanah objek tanggungan;
·         Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagaian ganti rugi untuk pelunasan piutang jika terjadi pembebasan tanah untuk kepentingan umum atau pelepasan hak;
·         Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagaian uang asuransi yang diterima oleh pemberi hak tanggungan jika objek hak tanggungan diasuransikan;
·         Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan tanah objek hak tanggungan jika terjadi eksekusi hak tanggungan;
·         Janji bahwa sertifikat atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dipegang oleh pemegang hak tanggungan;
·         Janji yang justru memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki sendiri (mendaku) tanah objek hak tanggngan manakala debitor cidera janji yang berakibat batal demi hukum (null and void).
e.       Pendaftaran Hak Tanggungan
Tahap pembebanan Hak Tanggungan berikut adalah tahap pendaftaran Hak Tanggungan pada dan oleh Kantor Pertahanan, yang merupakan saat Lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada kreditor, Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak Tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku-buku di kantor Pertahanan. Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut adalah sangat penting bagi kreditor. Saat tersebut bukan saja menentukan kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor-kreditor yang lain, melainkan juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga pemegang Hak Tanggungan, dengan tanah yang sama sebagai jaminannya. Untuk memperoleh kepastian mengenai saat pendaftarannya, dalam UUHT ditentukan, bahwa tanggal buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut    secara lengkap oleh kantor Pertahanan, dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
f.       Hapusnya Hak Tanggungan
Secara Imitatif ketentuan dalam Pasal 18 UUHT menetapkan hal-hal yang dapat menyebabkan berakhir atau hapusnya Hak Tanggungan, yaitu karena :
1.      Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2.      Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3.      Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4.      Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu dihapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Selain itu, pemegang Hak Tanggungan dapat melepaskan Hak Tanggungannya dan hak atas tanah dapat dihapus, yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli ha katas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar ha katas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagai mana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang dijadikan objek Hak Tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, maka Hak Tanggungan dimaksud tetap melekat pada ha katas tanah yang bersangkutan. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya ha katas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin, karenanya debitur tetap berkewajiban untuk melunasi (sisa) utangnya.


g.      Eksekusi dan Peroyaan Hak Tanggungan
Proses eksekusi hak tanggungan merupakan proses menjual benda yang merupakan objek hak tanggungan ketika utang dari debitor pemberi hak tanggungan sudah tidak dibayar pada waktu jatuh tempo. Beberapa model eksekusi hak tanggungan adalah sebagai berikut :
1.      Eksekusi dengan jalan mendaku;
2.      Eksekusi dengan jalan menjual bawah tangan secara langsung;
3.      Eksekusi dengan jalan menjual lelang sendiri oleh kreditornya tanpa ikut campur kantor lelang;
4.      Eksekusi dengan jalan menjual lewat kantor lelang tanpa perlu campur tangan pengadilan;
5.      Eksekusi secara flat eksekusi melalui pengadilan (dengan menggunakan kekuatan irah-irah dalam sertifikat hipotek);
6.      Eksekusi dengan jalan gugatan perdata biasa melalui pengadilan.





BAB III
PENUTUP
1.     Simpulan dan Saran
1.1.                      Simpulan
Dalam praktek perkreditan atau pembiayaan, keberadaan agunan sebagai jaminan tambahan ternyata menjadi hal yang lebih diutamakan oleh bank dibandingkan dengan sekedar jaminan berupa keyakinan bahwa debitur akan mampu mengembalikan kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Di samping itu, untuk lebih meyakinkan bahwa agunan yang diberikan akan mampu menjamin pengembalian kredit atau pembiaayaan bila terjadi wanprestasi, maka agunan yang diserahkan oleh debitur harus dilakukan pengikatan.
Pengikatan jaminan/agunan merupakan perjanjian accessoir (perjanjian buntut atau perjanian turutan), sedangkan perjanjian pokoknya dalam konteks perbankan berupa pemberian kredit atau pembiayaan. Oleh karena itu, berdasarkan doktrin hukum maka perjanjian accessoir dibuat berdasarkan suatu perjanjian pokok. Bila perjanjian pokok hapus maka perjanjian accessoir juga harus dihapuskan. Sehubungan dengan itu, perjanjian kredit atau pembiayaan adalah perjanjian pokok dan perjanjian pengikatan jaminan/agunan adalah perjanjian accessoir. Dengan demikian utuk pengamanan ditandatagani segera dilakukan perjanian pengikatan jaminan kredit atau pembiayaan.
Mengenai pengikatan jaminan kredit atau pembiayaa dapat diikuti berbagai ketentuan hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang lembaga jaminan dalam kaitannya dengan suatu utang-piutang.
Di Indonesia setelah Tahun 1996, yakni sejak lahirnya UU No. 4 Tahun 1996 tentang tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, pengikatan jaminan (agunan) kredit atau pembiayaan dibank melalui lembaga jaminan dapat dilakukan melalui beberapa macam lembaga jaminan, yaitu gadai, Hipotek, hak tanggungan, dan fidusia. Adapun uraian singkat mengenai masing-masing bentuk lembaga jaminan adalah sebagai berikut :
1.      Gadai
Lembaga jaminan yang disebut Gadai diatur oleh ketentuan pasal 1150 sampai dengan pasal 1160 KUHPerdata. Gadai merupakan lembaga jaminan yang digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa barang-barang bergerak antara lain berupa barang-barang perhiasan (misalnya kalung emas dan gelang emas), surat berharga dan surat yang mempunyai harga (misalnya saham dan sertifikat deposito), mesin-mesin yang tidak terpasang secara tetap di tanah atau bangunan (misalnya genset) dan sebagainya.
Pengikatan jaminan melalui gadai memberikan jaminan kebendaan kepada krediturnya sebagai pemegang Gadai, artinya kreditur mempunyai hak menagih pelunasan piutangnya atas benda yang diikat dengan Gadai tersebut.
Pengikatan jaminan melalui Gadai memberikan hak didahulukan atau hak preferen kepada kreditur sebagai pemegang gadai, artinya kreditur tersebut akan memperoleh pembayaran didahulukan atas piutangnya dari hasil pencairan (penjualan) benda yang diikat dengan gadai dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya.
2.      Hipotek
Lembaga Hipotek pada saat ini hanya digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa kapal laut berukuran bobot 20 m3 atau lebih sesuai dengan ketentuan Pasal 314 KUHDagang dan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, dengan mengacu antara lain kepada ketentuan Hipotek yang tercantum dan KUPerdata.
Pengikatan kapal laut melalui Hipotek memberikan kepastian hukum bagi kreditur sesuai dengan dibuatnya akta dan sertifikat Hipotek yang dalam praktek pelaksanaannya adalah berupa Akta Hipotek berdasarkan perjanjian pinjaman dan Akta Kuasa Memasang Hipotek.
3.      Hak Tangguungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kredit-kredit lain. Pemberiannya merpakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu perjannjian yang menimbulan hubungan hukum piutang yang dijamin pelunasannya.
4.      Fidusia
Semula bentuk jaminan ini tidaklah diatur dalam perundang-undangan melainkan berkembang atas dasar yurisprudensi, di Indonesia baru diatur dalam undang-undang pada tahun 1999 dengan lahirya Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia.
Fidusia merupakan pengembangan dari lembaga gadai, oleh karena itu yang menjadi objek jaminannya yaitu barang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tersebut, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
1.2.                      Saran
Dengan adanya materi yang Kami buat ini, Kami berharap Kita dapat lebih mengerti tentang Hukum jaminan dan isi dari materi-materi yang terkandung di dalamnya. serta telah mengetahui apa saja lembaga-lembaga jaminan yang mungkin akan Kita perlukan suatu saat, dan berbagai pembahasan lain yang  berkaitan dengannya. Oleh karena itu, Kami mengajak teman-teman untuk membaca dan mencermatinya dengan baik agar Kita bisa menjadi masyarakat yang lebih mengerti hukum.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Kita semua . Tiada gading yang tak retak, maka tentu karya tulis yang Kami buat masih pekat akan kesalahan. Oleh karena itu, mohon kritik dan saran agar pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun dengan lebih baik lagi.





[1] Nahrowi, “Pengantar HUkum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam”,Lembaga penelitian UIN Jakarta 2009 hlm.194-197
[2] Nahrowi, “Pengantar HUkum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam”,Lembaga penelitian UIN Jakarta 2009 hlm.198-200
[3] Nahrowi, “Pengantar HUkum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam”,Lembaga penelitian UIN Jakarta 2009 hlm.200-201
[4] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit  Erlangga, 2013), hlm. 164
[5]Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2000), hlm. 104-106
[6]Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit  Erlangga, 2013), hlm. 166-167
[7] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2000), hlm. 113
[8] Ibid., hlm. 113-114
[9] Ibid., hlm 114
[10]Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit  Erlangga, 2013), hlm. 167
[11]Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2000), hlm. 110
[12]Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit  Erlangga, 2013), hlm. 167-168
[13] Rachmadi Usman, Hukum kebendan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 261
[14] Ibid, hlm. 262-263
[15] Ibid, hlm. 263-266
[16] Ibid, 266-267
[17] Ibid, hlm. 268-269
[18] Ibid, hlm. 270

[20] Ibid, 273
[21] Ibid, hlm. 274-275
[22] Ibid.276
[23] Ibid, 279
[24] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang,  (Jakarta: Erlangga, 2013), hlm. 101-102.
[25]Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 151.
[26]Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang,  (Jakarta: Erlangga, 2013), hlm. 102-120.
[27] Ibid, Hlm 120-131
[28] Ibid, hlm. 127
[29] Ibid, hlm. 141-147
[30]Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013).Hlm. 305.
[31] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, ( Jakarta; Penerbit Erlangga, 2013). Hlm. 68.
[32] Rachmadi Usman, Ibid,.hlm. 306
[33]Ibid, Hlm. 314.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar