BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Penulisan
Dari beberapa pengertian mengenai hukum jaminan, maka dapat
disimpulkan bahwa hukum jaminan ialah ketentuan hukum yang mengatur hubungan
hukum antara pemberi jaminan (debitur) dengan penerima jaminan (kreditur) sebagai
pembebanan suatu utang tertentu. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi
jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.
Hukum jaminan meliputi jaminan perorangan maupun kebendaan. Jaminan kebendaan
meliputi hipotek, gadai. Sedangkan jaminan perorangan yaitu penanggungan utang.
Maka dari itu dalam makalah ini, Kami akan menjelaskan tentang
pengertian hukum jaminan, dasar hukum jaminan, fungsi jaminan, macam-macam
jaminan sampai dengan lembaga-lembaga jaminan di Indonesia secara terperinci.
2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana penjabaran mendasar mengenai Hukum Jaminan?
2.
Apa saja materi pembahasan Hukum Jaminan?
3.
Apa saja lembaga-lembaga jaminan dan bagaimana penjelasannya?
3.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
3.1.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Perdata. Agar Kita dapat memahami materi Hukum Perdata mengenai
Hukum Jaminan secara mendasar dan mendalam.
3.2.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Menambah wawasan mengenai salah satu materi Hukum Perdata mengenai
Hukum Jaminan.
2.
Memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang apa saja yang diatur
didalam Hukum Jaminan.
3.
Menjadikan materi ini sebagai pedoman agar bisa menjadi masyarakat
yang mengerti akan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Jaminan
Pada
dasarnya istilah jaminan itu berasal dari kata “jamin”, yang berarti tanggung,
sehingga jaminan dapat diartikan sebagai “tanggungan”. Menurut pasal 2 ayat 1
surat keputusan direksi Bank Indonesia no.23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari
1991 tentang jaminan pemberian kredit dikemukakan bahwa jaminan adalah suatu
keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan perjanjian.
Dalam KUHper Indonesia memang tidak secara tegas merumuskan tentang apa yang
dimksud dengan jaminan itu. Namun demikian dari ketentuan pasal 1131 dan pasal
1132 KUHper dapat diketahui arti jaminan tersebut. Ketentuan pasal 1131
menyatakan bahwa “ Segala kebendaan si berutang (Debitor), baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada mauoun yang baru aka nada di
kemudian hari, menjadi jaminan suatu segala perikatan pribadidebitor tersebut”.
Pasal
tersebut mengandung asasa bahwa setiap orang bertanggungjawab terhadap
utangnya, tanggung jawab yang mana berupa kekayaannya baik benda bergerak
maupun benda tak bergerak, jika perlu dijual untuk melunasi utang-utangnya.
Asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan didalam hukum oerikatan,
dimana setiap orang yang memberikan utang kepada seseorang (Kreditor) percaya
bahwa debitor akan melunasi utangnya dalam jangka waktu yang tealh ditentukan.
Setiap orang wajib memenuhi apa yang telah dijanjikannya sebagai wujud dari
tanggungjawab moral yang sekaligus merupakan tanggungjawab hukum.
Diuraikan
lebih lanjut dalam pasal 1132 KUHPer menyatakan bahwa “Kebendaan tersebut dalam
pasal 1131 menjadi jaminan bersama bagi para kreditor, dan hasil pelelangan
kebendaan tersebut dibagi diantara para kreditor seimbang menurut
besar-kecilnya piutang mereka masing-masing, kecuali alas an-alasan yang sah
untuk mendahulukan pitang yang satu daripada yang lain”.
Dari
ketentuan pasal tersebut diketahui bahwa apabila seorang debitor mempunyai
beberapa kreditor maka pada prinsipnya kedudukan para kreditor itu adalah sama
(Asas Paritas Creditorium). Dalam hal harta kekayaan debitor yang bersangkutan
tidak mencukupi untuk melunasi utang-utangnya, maka para kreditor itu dibayar
berdasarkan asas keseimbanngan, dalam arti masing-masing memperoleh pembayaran
seimbang dengan piutangnya.
2.
Dasar Hukum Jaminan
Dalam hukum positif Indonesia terdapat berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur jaminan dalam rangka melaksanakan system
kehati-hatian (Prudentia) yang harus dilakukan oleh industry perbankan,
termasuk perbankan syariah. Antara lain dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan
UU no 7 tahun 1992 tentang perbankan yang telah diubah dengan undang-undang no
10 tahun 1998, peraturan perundang-undangan Bank Indonesia dan KUHPer. Berikut
akan disebutkan beberapa pasal perundang-undangan diatas yang terkait dengan
urgensitas jaminan di perbankan
:
1.
Dalam UU no 10 tahun 1998 terdapat
pada pasal 8 ayat 1 serta pasal 12 A ayat 1.
2.
Dalam peraturan Bank Indonesia (PBI)
no 5/7/PBI/2003 tentang kualitas aktiva produktif bagi Bank Syariah pasal 2
ayat 1dan penjelasannya, dan pada PAPSI (Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia) tahun 2003 Bank Indonesia .[1]
3.
Dalam KUHPer 1131 dan Pasal 1132.
3.
Fungsi Jaminan
a.
Debitor
Dengan demikian Jaminan kredit mempunyai fungsi untuk mengamankan
pelunasan kredit bila dikemudian hari debitor wanprestasi terhadap bank. Jaminan kredit yang dikuasai bank harus merupakan sesuatu jaminan
yang mempunyai nilai yang baik dan seharusnya diikat dengan suatu lembaga
jaminan secara sempurna. Dan untuk mendorong debitor untuk secara cepat
melunasi kreditnya, agar jaminan tersebut tidak dicairkan karena terjadinya kemacetan pelunasan kredit.
Debitor terdorong untuk berhati-hati dalam mempergunakan dana yang
berasal dari kredit sebagaimana yang telah disepakati dengan bank.
Debitor dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak
khawatir dalam mengembangkan usahanya dan memberikan kepastian hukum bagi
debitur untuk mengembalikan pokok kredit dan Bungan atau bagi hasilnya yang
ditentukan dan kepastian dalam berusaha.
b.
Kreditur
Yaitu terwujudnya keamanan terhadap transaksi kredit atau
pembiayaan yang ditutup dan juga memberikan kepastian hukum bagi kreditur.
4.
Macam-macam Jaminan
1.
Jaminan Perorangan (persoonlijke zekerheid)
Suatu perjanjian antara seorang
berpiutang (Kreditor) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya
jaminan-jaminan si berutang (Debitur). Jaminan perorangan ini tidak ada hak privilege atau hak yang diistimewakan
terhadap kreditur-kreditur lainnya maka jaminan itu hampir tidak berarti bagi
bank sebagai pemberi kredit. Sebab tentunya bagi pihak kreditur menginginkan
jaminan yang lebih kuat dan bersifat khusus. Sehingga bila suatu saat debitur
tidak memenuhi utangnya maka dapat dengan mudah menyita dan melelang barang
yang dijadikan jaminan tersebut.
2.
Jaminan Kebendaan ( Zakerlijke
Zekerheid)
Suatu tindakan berupa suatu
penjaminan yang dilakukan oleh si berpiutang (Kreditur) terhadap Debiturnya
atau antara si berpiutang dengan seorang pihak ketiga guna memenuhi
kewajiban-kewajiban dari si berutang (Debitur). [2]
Pemberian jaminan kebendaan selalu
berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang , si pemberi jaminan,
dan menyediakannya guna pemenuhan (Pembayaran) kewajiban (Utang) seorang
debitor kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan si Debitor sendiri atau
kekayaan seseorang pihak ketiga. Pemberian jaminan kebendaan ini kepada si
berpiutang atau kreditor tertentu, memberikan kepada si berpiutang tersebut
suatu hak Privilege terhadap kreditor
lainnya.
Penyendirian atau penyediaan secara
khusus kekayaan itu diperuntukkan bagi kepentingan seorang debitor tertentu
yang telah memintanya, karena bila tidak dada penyendirian secara khusus itu
bagian dari kekayaan tadi seperti halnya dengan seluruh kekayaan debitur
dijadikan jaminan untuk pembayaran semua utang debitor. Dengan demikian maka
pemberian jaminan kebendaan kepada seorang kreditur tertentu, memberikan kepada
kreditur tersebut suatu privilege
atau kedudukan istimewa kepada kreditur lainnya.[3]
5.
Lembaga-lembaga Jaminan
Di
Indonesia setelah Tahun 1996, yakni sejak lahirnya UU No. 4 Tahun 1996 tentang
tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, pengikatan
jaminan (agunan) kredit atau pembiayaan dibank melalui lembaga jaminan dapat
dilakukan melalui beberapa macam lembaga jaminan, yaitu gadai, Hipotek, hak
tanggungan, dan fidusia. Adapun uraian singkat mengenai masing-masing bentuk
lembaga jaminan adalah sebagai berikut :
1)
Hipotek
a.
Pengertian Hipotek
Hipotek merupakan
istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa indonesia, yakni seiring
berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia sejak tahun 1848.
Istilah “hipotek” berasal dari hukum Romawi “hypotecha”
yang berarti “pembebanan”, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan “onderzetting”. Hipotek adalah suatu hak
kebendaan (zakelijrecht) yang
merupakan perjanjian assesoir
(ikutan) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan utang, merupakan jaminan
utang, dan berobjekkan benda tidak bergerak yang tidak diserahkan penguasaan
atas benda tersebut ke dalam kekuasaan kreditor, dan juga kepada pemegang
hipotek diberikan hak preferensi untuk didahulukan pembayarannya dari kreditor
lainnya. Sebagai suatu hak kebendaan, hipotek mengikuti bendanya (droit de suite) kemanapun benda
tersebut dipindah tangankan (vide
Pasal 1163 juncto pasal 1198 KUH
Perdata). Awal mulanya, objek hipotek adalah tanah dan kapal laut. Kemudian,
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Tanggungan maka terhadap jaminan atas tanah
berlaku hak tanggungan, sehingga hipotek hanya tinggal untuk kapal laut saja.
Sifat dari hak
kebendaan lainnya adalah absolut, dalam arti hak tersebut dapat dipertahankan
terhadap siapa saja. Artinya, pemilik hak kebendaan dapat menuntut siapapun yang
mengganggu haknya, karena setiap orang harus menghormati hak kebendaan
tersebut. Sebagai perjanjian assessoir(buntut),
hipotek mengikuti perjanjian pokok yang berupa perjanjian utang-piutang atau
perjanjian yang menerbitkan utang-piutang. Jadi, hipotek bukanlah perjanjian
yang independen (zelfstandigrecht). Sifat
lain dari pranata hukum hipotek adanya hak preferensi dari pemegang hipotek.
Dalam konteks ini, pemegang hipotek berhak untuk mendapatkan pelunasan utangnya
terlebih dahulu dari kreditor lainnya, yang diambil dari hasil penjualan benda
objek jaminan utang (vide pasal 1133, 1134 (2), dan 1198 KUH Perdata
Indonesia).
Jadi, manakala
utang yang dijamin dengan jaminan hipotek tersebut sudah dibayar lunas sesuai
yang diperjanjikan, maka hipotek dihapus dan dicoret dari dalam buku
pendaftaran hipotek. Sebaliknya, manakala utang tidak terbayar lunas, maka
benda objek jaminan hipotek tersebut harus dijual; dari harga penjualan
tersebut akan diambil untuk dan sebesar pelunasan utang sesuai perjanjian, sedangkan
kelebihannya (jika ada) harus dikembalikan kepada debitornya. Sebaliknya,
manakala dari hasil penjualan benda objek jaminan hipotek ternyata tidak
menutupi utang yang ada, maka debitor masih berkewajiban membayar sisa utang
yang belum terbayarkan tersebut, sesuai prinsip bahwa utang yang dibuat menurut
hukum memang harus dibayar.[4]
b.
Asas-asas Hipotek
Asas hipotek,
secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)
Asas Publiciteit, yaitu asas yang menekankan bahwa hipotek
itu harus di daftarkan, supaya dapat diketahui oleh umum. Mendaftarkannya ialah
kepada pegawai pembalikan nama yaitu kepada kantor kadaster. Yang didaftarkan
ialah akta dari hipotek itu.
2)
Asas Specialiteit, yaitu asas yang menghendaki bahwa hipotek
hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjukkan secara khusus. Misalnya:
benda yang dipakai sebagai tanggungan itu berwujud apa, dimana letaknya, berapa
luas/besarnya perbatasannya dan lain-lain.
c.
Obyek Hipotek
Menurut Pasal 1164
KUH Perdata yang dapat dibebani hipotek ialah:
1)
Benda-benda tak bergerak;
2)
Hak memungut hasil atas benda tersebut;
3)
Hak opstal (sekarang hak guna bangunan) dan Hak erfpacht (sekarang
hak guna usaha);
4)
Bunga tanah.
5)
Bunga sepersepuluh
6)
Bazaar-bazaar atau pasar-pasar yang diakui pemerintah beserta hak
istimewa yang melekat padanya.
Jadi yang dapat
dibebani hipotek itu selain benda tak bergerak juga hak-hak atas benda tersebut
(benda tak bergerak yang tak berwujud).
Diluar
pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani hipotek ialah:
1)
Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang
merupakan hak milik bersama yang bebas).
2)
Kapal juga dapat dibebani hipotek (diatur dalam KUHD).
Setelah berlakunya
UUPA sebelum terbitnya PP Nomor 10 Tahun 1961 yaitu berdasarkan Peraturan
Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 Pasal 26, diadakan penggolongan-penggolongan
mengenai hak-hak tanah yang dapat dibebani hipotek dan credietverband sebagai
berikut:
Hak-hak tanah yang
dapat dibebani hipotek ialah: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang
berasal dari konversi hak-hak tanah Barat yaitu hak eigendom, hak Opstal dan
hak Erfpacht.
Hak-hak tanah yang
dapat dibebani credietverband ialah: hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha yang berasal dari hak-hak Indonesia yaitu yang berasal dari hak-hak
tanah Adat.
Sekarang setelah
berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 dengan peraturan pelaksanannya PMA No. 15 Tahun
1961 yaitu tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hipotek dan Credietverband,
sudah tidak diadakan penggolongan lagi mengenai hak-hak tanah yang mana yang
dapat dibebani hipotek dan credietverband. Hipotek dan credietverband
dapat dibebankan pada hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha baik yang
berasal dari konversi hak-hak Barat maupun yang berasal dari konversi hak-hak
Adat.
Juga dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha yang baru
(tidak berasal dari konversi) yang baru diadakan setelah tanggal berlakunya
UUPA yaitu tanggal 24 September 1960. Pasal 1 PMA No. 15 Tahun 1961:
Tanah-tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang telah dibukukan
dalam daftar buku tanah menurut ketentuan-ketentuan PP 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah (LN 1961-28) dapat dibebani hipotek maupun credietverband.[5]
d.
Kuasa Memasang Hipotek
Dalam sistem KUH
Perdata diperkenankan juga dibuat kuasa memasang hipotek dengan suatu surat
kuasa untuk itu. Kuasa memasang hipotek ini dilakukan dengan alasan :
1.
Untuk menyingkat waktu bagi kreditor;
2.
Untuk menghemat biaya, karena pengikatan hipotek membutuhkan biaya.
Karena itu, pengikatan hipotek tidak dilakukan kecuali karena terpaksa.
3.
Kuasa memasang hipotek sangat cocok diterapkan untuk utang-utang
bernilai kecil.
4.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi, karena sesuatu dan
lain hal benda objek jaminan hipotek belum memenuhi syarat untuk dipasang hipotek.[6]
Menurut pasal 1171
ayat 1 KUH Perdata ditentukan bahwa kuasa untuk memasang hipotek harus dibuat
dengan akta otentik. Yang dimaksudkan dengan pemberian kuasa ialah mengingat
acara pemasangan pemberian hipotek itu tidak mudah, harus dilalui menurut
formalitas tertentu, memakan waktu dan biaya, maka adakalanya untuk
kredit-kredit yang diberikan, kreditor telah merasa terjamin bilamana telah
mendapat kuasa dari debitor untuk memasang hipotek. Pemasangan hipotek itu
kemudian baru dilaksanakan jika ada tanda-tanda bahwa debitor akan mengingkari
janji, tidak memenuhi kewajibannya, maka baru terhadap benda yang dijadikan
jaminan itu dipasang hipotek. Dalam istilah perbankan disebut dilakukan
pemasangan nyata.
Adanya perjanjian
pemberian kuasa untuk memasang hipotek yang demikian itu menurut ketentuan
pasal 1171 ayat 2 harus dituangkan dalam akta otentik. Yang dimaksudkan disini
ialah akta notaris, bukan akta yang harus dibuat oleh dan di hadapan PPAT.[7]
Di kota-kota besar
yang telah ada notarisnya diadakan dengan akta notaris, sedangkan di kota-kota
kecil dimana belum ada notaris bisa dilaksanakan dengan legalisasi dari
Pengadilan atau Pemerintah Daerah setempat sesuai dari permintaan kreditor yang
bersangkutan.[8]
Pemberian kuasa
yang demikian harus disertai dengan penyerahan sertifikat tanah/benda yang
dibebani hipotek kepada kreditor untuk ditahan atau disimpan. Penyerahan
sertifikat yang demikian itu selain untuk keperluan kemungkinan pemasangan
hipotek nanti jika diperlukan, juga untuk menjaga jangan sampai terjadi
penyalahgunaan oleh debitor terhadap benda yang dipakai sebagai jaminan,
misalnya dipergunakan untuk menjamin utang lain tanpa sepengetahuan kreditor,
dijual, dipindahkan dan lain-lain yang kesemuanya itu dapat merugikan kreditor.
Bagaimana kedudukan kreditor sebelum dan sesudah
pemasangan hipotek ada perbedaannya. Sebelum pemasangan hipotek (sekalipun
telah dibuat dengan akta notaris perjanjian pemberian kuasanya) kedudukan
kreditor adalah sebagai kreditor concuren biasa yang sama berhak dan
bersaing dengan kreditor-kreditor yang lain. Sedang setelah adanya pemasangan
nyata hipotek terhadap benda jaminan, kreditor berstatus sebagai yang paling
kuat yang pemenuhan piutangnya didahulukan dari piutang-piutang lain, bahkan
lebih didahulukan daripada privilegie.
Juga didalam credietverband
dimungkinkan adanya pemberian kuasa untuk memasang credietveband. Tapi
disana tidak disyaratkan harus dengan akta otentik, sehingga kesimpulannya
pemberian kuasa untuk memasang credietverband itu dapat diadakan dengan
akta dibawah tangan.[9]
e.
Akta Hipotek
Pengikatan hipotek
dilakukan dengan menggunakan instrumen yang disebut dengan “akta hipotek”. Akta
hipotek harus memenuhi syarat-syarat:
1)
Harus berupa akta otentik, dalam konteks ini berupa akta notaris.
2)
Harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
3)
Harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a)
Identitas pihak pemberi hipotek:
·
Nama lengkap;
·
Agama;
·
Tempat tinggal/tempat kedudukan;
·
Tempat lahir;
·
Tanggal lahir;
·
Jenis kelamin;
·
Status perkawinan;
·
Pekerjaan.
b)
Identitas pihak penerima hipotek, yakni tentang data seperti
tersebut di atas.
c)
Harus dicantumkan hari, tanggal, dan jam pembuatan akta hipotek.
d)
Data perjanjian pokok yang dijamin dengan hipotek.
e)
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan hipotek; yakni
tentang identifikasi benda tersebut, dan surat-surat kepemilikannya.
f)
Berapa nilai penjaminannya.[10]
Sedangkan dalam
sumber lain disebutkan bahwa isi dari akta hipotek itu sendiri dibagi atas dua
bagian:
1)
Isi yang wajib.
Yaitu
yang berisi hal-hal yang wajib dimuat, yakni yang memuat penjelasan mengenai
barang apa yang dibebani hipotek itu (tanah rumah dan lain-lain).
Luasnya/ukurannya berapa, letaknya dimana, berbatasan dengan milik siapa,
jumlah barang dan lain-lain.
2)
Isi yang fakultatif.
Yaitu
yang berisi hal-hal yang secara fakultatif dimuat, yakni janji-janji/beding
yang diadakan antara pihak-pihak (debitor dan kreditor). Tetapi sekalipun
janji-janji demikian lazim dimuat dalam akta demi kepentingan para pihak
sendiri, supaya lebih zeef/kuat.[11]
f.
Janji-janji dalam Hipotek
Dalam suatu akta
hipotek, dapat dibuat janji-janji khusus, yaitu:
§ Janji untuk
memberi kuasa kepada kreditornya untuk menjual sendiri benda jaminan hipotek
dengan kekuasaan sendiri (beding van eigenmachtige verkoop), atau yang
disebut juga dengan istilah “janji lelang” (veiling beding) – vide
Pasal 1178 KUH Perdata.
§ Janji untuk
membatasi pihak debitor dalam menyewakan benda objek jaminan hipotek (huurbeding)
– vide Pasal 1185 KUH Perdata.
§ Janji agar uang
asuransi atas benda objek jaminan utang diberikan kepada kreditor (asurantie
beding) – vide Pasal 297 KUH Dagang.
§ Janji untuk
tidak dibersihkan (beding van niet zuivering) – vide Pasal 1210 KUH
Perdata.
Seperti telah
disebutkan, para pihak dalam perjanjian hipotek dapat membuat sebuah “janji
lelang” (veiling beding). Dengan dimuatnya janji lelang dalam akta
hipotek, maka pemegang hipotek kemudian memiliki kekuasaan yang disebut dengan
parate eksekusi, yakni menjalankan eksekusi sendiri; dalam konteks ini,
langsung di eksekusi melalui kantor lelang tetapi tanpa memerlukan campur
tangan pengadilan sama sekali.[12]
g.
Macam-macam Hipotek
Dalam ilmu hukum
dan bisnis sebenarnya banyak model penggolongan hipotek. Akan tetapi, terjadi
penggolongan yang sangat spesifik dalam hukum Belanda; yang menggolongkan
hipotek sebagai berikut.
·
Crediet Hypotheek
Merupakan Hipotek yang diikat berdasarkan suatu rekening Koran di
Bank. Rekening Koran tersebut dapat turun naik,karna disetor atau diambil oleh
pemilik rekening. Karna hal tersebut utang yang dijamin oleh Crediet Hypotheek
ini tidak tetap (selalu berubah-ubah). Keuntungan dari Crediet Hypotheek adalah
besarnya hipotek yang slalu dinamis sesuai kebutuhan,dan setiap kali besarnya
hipotek tersebut berubah tidak perlu dibuat lagi hipotek baru,karna yang dijamin
adalah kredit yang berubah-ubah besarnya dan diambil berkali-kali(revolving
loan).
·
Beheers Hypotheek
Adalah hipotek yang diberikan pada saat utang yang dijaminnya belum
ada,dan utang nantinya juga belum dapat dipastikan besarnya.
·
Bauw Hypotheek
Bauw Hypotheek adalah sejenis hipotek yang diberikan untuk
pembangunan sebuah gedung, dengan kredit yang dijaminkannya diambil bertahap
sesuai dengan tahap berjalannya pembangunan gedung tersebut dan terdapat
penentuan batas maksimum atau plafond sehingga kredit tersebut tidak boleh
diambil melebihi plafond.
·
Trust Hypotheek
Adalah hipotek untuk menjamin utang, dengan utang tersebut dibuat
dalam bentuk surat utang (obligasi) yang dikelola oleh wali amanat (trustee)
dalam konteks ini, wali amanat bekerja dan bertindak untuk dan atas nama
kreditor pemegang obligasi.
·
Bank Hypotheek
Adalah hipotek untuk menjamin utang (dari bank ataupun bukan ),
yang masih belum jelas jumlahnya dan belum jelas eksistensinya, sehingga
merupakan hipotek untuk utang yang sekiranya ada di masa yang akan
datang.disebut dengan “Bank hypotheek” karna hipotek seperti ini sering
diberikan kepada bank.
·
Crediet Verband
Atau yang disebut juga dengan “ikatan kredit”. Undang undang pokok
agraria No 5 tahun 1960 tetap menjamin berlakunya Credietverband, melalui pasal
57, credietverband tidak lain dari semacam hipotek yang diberlakukan untuk
orang-orang bumiputera (orang Indonesia asli) terhadap jaminan utang atas
tanah-tanah adat yang belum bersertifikat. Jadi, Credieverband merupakan
hipotek yang telah disederhanakan. Suatu Credietverband disamping berobjek
dapat juga diikatkan terhadap benda benda diatas tanah yaitu atas bangunan atau
tanaman-tanaman. Dewasa ini, Credietverband tidak berlaku lagi di Indonesia
sejak keluarnya Undang-undang Hak Tanggungan No.4 Tahun !996.
h.
Eksekusi Barang Objek Jaminan Hipotek
Salah satu ciri
dari jaminan utang kebendaan yang baik adalah manakala hak tanggungan tersebut
dapat dieksekusi secara cepat melalui proses yang sederhana,efisien, dan
mengandung kepastian hukum.
Tentu saja, Hipotek sebagai salah satu jenis jaminan utang juga
harus memilki unsur-unsur cepat,murah,dan pasti tersebut. Model-model eksekusi
jaminan hipotek adalah:
v Secara flat
eksekusi (dengan memakai titel
eksekutorial), yakni melalui suatu penetapan pengadilan.
v Secara parate
eksekusi,yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan pengadilan) di depan
pelelangan umum, apabila diperjanjikan.
v Pihak kreditor
dapat ,menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan biasa ke pengadilan.
v Eksekusi hipotek
dengan jalan mendaku dilarang secara tegas oleh KUH perdata (pasal 118).
Eksekusi secara mendaku adalah eksekusi dengan jalan pengambilan langsung benda
objek jaminan hipotek oleh kreditor untuk menjadi miliknya manakala debitor
tidak membayar utang yang dijamin dengan hipoteknya.
1)
Eksekusi Hipotek Dengan Titel Eksekutorial
Ada beberapa akta jaminan utang yang mempunyai titel eksekutorial
yang disebut dengan istilah “grosse akta” yaitu :
·
Akta hipotek (berdasarkan Pasal 224 HIR);
·
Akta pengakuan utang (berdasarkan Pasal 224 HIR );
·
Akta hak tanggungan (berdasarkan undang-undang Hak Tanggungan No. 4
Tahun 1996);
·
Akta fidusia (berdasarkan undang-undang fidusia No. 42 Tahun 1999).
Menurut kitab
undang-undang Hukum Acara Perdata (HIR), setiap akta yang mempunyai titel
eksekutorial dapat dilakukan flat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan
bahwa grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris
di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” memilki kekuatan yang sama dengan suatu kepiutusan hakim. Jika
tidak dapat dieksekusi dengan jalan damai, maka surat utang yang demikian
dieksekusi dengan perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri (yang
daerah hukumnya mencakup tempat berdiam atau tempat tinggal debitor itu ataupun
tempat kedudukan yang dipilih ) menurut cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal
sebelum pasal 224 ini- tetapi, dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya
boleh dilakukan jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika putusan hakim
itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum Pengadilan
Negeri yang memrintahkan pelaksanaan putusan itu, maka harus dituruti ketentuan
dalam Pasal 195 ayat (2) dan seterusnya dari HIR. Dari ketentuan tersebut terlihat
bahwa salah satu syarat agar suatu flat eksekusi dapat diberlakukan adalah
bahwa dalam akta itu terdapat irah-irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” irah-irah inilah yang memberikan titel
eksekutorial. Karna itu yang dimaksud dengan flat eksekutorial adalah eksekusi
atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah
berkekuatan pasti. Namun ada yang tidak jelas dalam undnag-undang dan juga
dalam praktek, yaitu manakala ada pihak yang keberatan atas flat eksekusi;
kemana harus diajukan, bagaimana prosedur pengajuannya,dan siapa yang harus
memutuskan.
2)
Eksekusi Hipotek Secara Parate Eksekusi Melalui Kantor Lelang
Eksekusi hipotek
dapat juga dilakukan oleh penerima hipotek dengan jalan mengeksekusinya melalui
lembaga pelelangan umum (Kantor Lelang ) kemudian, hasil pelelangan tersebut
diambil untuk melunasi pembayaran piutang-piutangnya. Apabila diperjanjikan
dalam akta hipotek.(lihat Pasal 1178 junctoPasal 1211 KUH perdata).
3)
Eksekusi Hipotek Tanpa Melalui Kantor Lelang
Meskipun tidak
ditegaskan dalam undang-undang, eksekusi objek jaminan hipotek dapat juga
dilakukan dengan jalan menjual lelang sendiri oleh kreditornya tanpa campur
tangan kantor lelang maupun pengadilan. Cara penjualan seperti ini dapat
dianggap sebagai salah satu varian dari eksekusi secara parate (mengeksekusi
tanpa pengadilan) dengan cara menjual benda objek jaminan hipotek tersebut
langsung oleh kreditor secara dibawah tangan.
4)
Eksekusi Hipotek Secara Mendaku
Yang dimaksud
dengan eksekusi Hipotek secara mendaku adalah eksekusi hipotek dengan cara
mengambil barang hipotek untuk menjadi milik kreditor secara langsung, tanpa
melalui suatu transaksi apapun.
Apakah eksekusi
hipotek secara mendaku ini dapat dibenarkan oleh Hukum? KUH perdata, melalui
pasal 1178, secara tegas melarang eksekusi hipotek secara mendaku ini.
5)
Eksekusi Hipotek Melalui Gugatan Biasa
Keberadaan
model-model eksekusi khusus dalam KUH perdata dimaksudkan bukan untuk
meniadakan hukum acara yang umum, tetapi untuk menambah ketentuan yang ada
dalam hukum acara umum tersebut. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam KUH
perdata, Khususnya tentang cara eksekusi hipotek, yang bertujuan meniadakan
ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum melalui gugatan biasa ke Pengadilan
Negeri yang berwenang. Selain itu, bukankah keberadaan model-model eksekusi
khusus tersebut bertujuan mempermudah dan membantu pihak kreditor untuk menagih
utangnya? Satu dan lain hal disebabkan karna eksekusi hipotek melalui gugatan
biasa akan memakan waktu yang lama dan dengan prosedur yang berbelit-belit,
serta kondisi ini sangat tidak praktis dan tidak efisien bagi utang dengan
jaminan hipotek.
i.
Hapusnya Hipotek
Apabila terjadi hal-hal
tertentu, maka hipotek dianggap oleh hukum telah hapus. Kejadian-kejadian
tersebut adalah (lihat Pasal 1209 KUH Perdata):
·
Hapusnya perikatan pokok
·
Pelepasan hipotek oleh kreditor
·
Karena penetapan peringkat oleh hakim
Hapusnya hipotek
karena hapusnya perikatan pokok adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian
hipotek, yang merupakan perjanjian
ikutan (assesoir)
Yakni assesoir
terhadap perjanjian pokonya yang berupa perjanjian utang piutang atau
perjanjian yang menimbulkan utang-piutang. Jadi, jika perjanjian utang-piutang
atau piutangnya lenyap karena lasan apa pun, maka jaminan hipotek sebagai
ikutannya juga ikut menjadi lenyap.
Sementara itu,
hapusnya hipotek karena pelepasan hak atas hipotek oleh pemegang hipotek juga
wajar ,mengingat pihak pemegang hipotek sebagai yang memiliki hak atas hipotek
tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya itu.
Ada ptosedur
tertentu yang harus ditempuh manakala suatu hipotek hapus, yakni harus dicoret
pencatatannya di kantor tempat pendaftaran hipotek. Selanjutnya, kantor tempat
pendaftaran hipotek menerbitkan suarat keterangan yang menyatakan bahwa
sertifikat hipotek yang bersangkutan sudah dicoret dan dinyatakan tidak berlaku
lagi.
2)
Gadai
a.
Dasar Hukum Gadai
Hak jaminan gadai diatur dalam buku II KUHPerdata, yaitu dalam Bab
Kedua puluh dari Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata. Pasal-pasal
mana mengatur perihal pengertiian,objek,tata cara menggadaikan, dan hal lainnya
berkenaan dengan hak jaminan gadai.
Lembaga gadai menurut KUHPerdata ini masih banyak dipergunakan di
dalam praktik. Kedudukan pemegang gadai di sini lebih kuat dari pemegang
fidusia,karena benda jaminan berada dalam penguasaan kreditor. Dalam hal ini,
kreditor terhindari dari itikad jahat (te kwader trouw) pemberi gadai.
Dalam gadai, benda jaminan sama sekali tidak boleh berada dalam penguasaan (inbezitstelling)
pemberi gadai.[13]
Ketentuan-ketentuan tentang gadai dalam KUHPerdata, dengan sedikit
perubahan antara lain melalui S. 1875-258, S. 1917-497, S. 1938-276, merupakan
ketentuan yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Kemajuan-kemajuan dalam
masyarakat telah menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang semula belum
terpikirkan oleh pembentuk undang-undang. Malahan, ada ketentuan-ketentuan umum
yang semula memang penjaminan gadai tetapi dalam pelaksanaannya menghadapi
kesulitan, karena pada waktu pembuat undang-undang menciptakan ketentuan gadai
adakalanya ia hanya teringat kepada gadai benda berwujud saja. Sebgai upaya
agar ketentuan yang ada bisa dilaksanakan sesuai keadaan nyata yang ada dan
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan baru tersebut, maka sering kali harus
memberikan penafsiran baru kepada ketentuan yang ada.
Sejak zaman Belanda hingga dewasa ini, Perum Pegadaian (Jawatan
Pegadaian) telah melaksanakan kegiatan usaha dengan memberikan kredit
berdasarkan sistem hukum gadai. Perum Pegadaian mana didirikan dan beroperasi
berdasarkan kepada :
1.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan
Pegadaian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah 10 tahun 1970.
2.
Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umun
Pegawaian sebagaimana diperbarui dengan Peraturan pemerintah Nomor 103 Tahun
2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
b.
Istilah dan Pengertian Gadai
Istilah lembaga hak jaminan “gadai” ini merupakan terjemahan kata pand
atau vuistpand (bahasa belanda), pledge atau pawn (bahasa
inggris), pfand atau faustpand (bahasa jerman). Dalam hukum adat
istilah gadai ini disebut dengan cekelan.
Perumusana pengertian gadai
diberikan dalam Pasal 1150 KUHPerdata sebagai berikut :
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu
barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh
seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang
itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada
orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang
itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Kata “gadai” dalam undang-undang tersebut digunakan dalam 2 arti
yaitu : pertama untuk menunjuk kepadanya bendanya (benda
gadai, vide
Pasal 1152 KUHPerdata); dan kedua, tertuju kepada haknya (hak gadai, seperti
pada Pasal 1150 KUHPerdata).[14]
Dari perumusan Pasal 1150 KUHPerdata
tersebut dapat diketahui, bahwa :
·
Gadai merupakn suatu hak jaminan
kebendaan atas kebendaan bergerak tertentu milik debitur atau seseorang lain
atas nama debitur untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasaan utang tertentu;
·
Gadai memberiakn hak didahulukan (voorrang,
preferensi, droit de preference) kepada pemegang hak gadai atas kreditor-kreditor
lainnya atas piutangnya.
·
Gadai memberikan kewenangan kepada
kreditor pemegang gadai untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dari hasil
penjualan melalui pelelangan umum atas barang-barang yang digadaikan setelah
dikurangi biaya-biaya lelang dan biaya lainnya yang terkait dengan proses
lelang.
Dibandingkan dengan privilege,
terdapat perbedaaan antara gadai dengan privilege, yaitu:
1. Gadai itu adanya karena diperjanjikan, sedang privilege
timbul karena diberikan oleh undang-undang;
2. Oleh undang-undang privilege itu diikatkan pada hubungan-hubungan hukum
tertentu menjamin dengan gadai terhadap piutang-piutang, apa pun juga;
3. Gadai (juga Hipotek) itu lebih didahulukan daripada privilege,
kecuali dalan hal-hal dimana undang-undang menentukan sebaliknya.
c. Sifat-sifat Gadai
Sebagai hak kebendaan, pada gadai
melekat pula sifat-sifat hak kebendaan, yaitu: (1) barang-barang yang
digadaikan tetap atau terus mengikuti kepada siapa pun objek barang-barang yang
digadaikan itu berada (droit de suite); (2) bersifat mendahului (droit
de preference, asas prioriteit); (3) hak gadai memberikan kedudukan diutamakan
(hak preferensi) kepada kreditor pemegang hak gadai (pasal 1133,
Pasal 1150 KUHPerdata); (4) dapat beralih atau dipindahkan.
d. Subjek Hukum dalam Gadai
Dalam ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata,
yang antara lain kaya-katanya menyatakan gadai adalah suatu
hakk yang diperoleh seorang bepiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas
namanya, maka subjek hukum dalam gadai tersebut ,yaitu pihak yang ikut serta
dalam membuat/mengadakan suatu perjanjian gadai. Pihak mana terdiri atas 2
pihak, yaitu[15] :
·
Pihak yang memberikan jaminan gadai,
dinamakan pemberi gadai (pandgever)
·
Pihak yang menerima jaminan gadai,
dinamakan penerima gadai (pandnemer).
Berhubung kebendaan jaminannya berada
dalam tangan atau penguasaan kreditor atau pemberi jaminan, maka penerima gadai
dinamakan juga pemegang gadai. Namun atas kesepakatan bersama antara debitur
dan kreditur, barang-barang yang digadaikan berada atau diserahkan kepada pihak
ketiga berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat 1 KUHPerdata, maka pihak
ketiga tersebut dinamakan pula sebagai pihak ketiga pemegang gadai.
Menurut ketentuan dalam Pasal 1152 ayat
(4) KUHPerdata yang antara lain menyatakan tidak berkuasanya pemberi gadai
untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggung
jawabkan kepada yang berpiutang yang telah menerima barang tersebut dalam
gadai, maka pada dasarnya pemberi gadai itu haruslah orang yang mempunyai
kewenangan atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap kebendaan
bergerak yang akan digadaikan.
Sebaliknya berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 1152 ayat (4) KUHPerdata tersebut, walaupun yang meletakkan gadai itu
orang yang tidak wenang, namun hal tersebut tidak mengakibatkan perjanjian
gadainya menjadi cacat hukum, karenanya dapat dibatalkan
atau dituntut pembatalan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1131
KUH Perdata. Ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata menentukan
pengecualian terhadap prinsip orang yang berwenang menggadaikan barang gadai,
dengan menyatakan bahwa penerima gadai tidaklah dapat dipertanggungjawabkan
atas kebendaan gadai yang diterimanya dari pemberi gadai yang tidak berwenang
menggadaikan barang gadai.
Dengan demikian,
ketidaktahuan penerima gadai atas kebendaan yang digadaikan oleh orang-orang
yang tidak berwenang atau berhak menggadaikan barang gadai, maka hal itu tidak
menyebabkan perjanjian gadainya menjadi batal atau tidak sah dalam hal ini
pemegang gadai tetap dilindungi oleh hukum selama yang bersangkutan tidak
beriktikad baik serta pemilik sejati atau asal tidak dapat menuntut barang yang
digadaikan itu kembali. Namun, sebaliknya bila pemegang gadai beriktikad tidak
baik atau buruk, maka yang mendapatkan perlindungan hukumnya adalah pemilik
sejati atau asalnya dan pemilik sejati atau asalnya dapat menuntut kembali
barang yang digadaikan tersebut asalkan tidak melebihi batas waktu tiga tahun.
Dari ketentuan
dalam Pasal 1152 ayat (4) KUH Perdata yang antara lain menyatakan, bahwa dengan
tidak mengurangi hak orang yang kehilangan atau kecurian barang gadai itu,
untuk menuntut kembali, maka sesungguhnya pemilik barang gadai yang dicuri atau
hilang,tidak kehilangan haknya untuk menuntut kembali barang gadai tersebut
dari tangan pemegang gadai.[16]
Pemberi gadai bisa
perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menyerahkan kebendaan bergerak
sebagai jaminan atau agunan bagi pelunasan utang seseorang atau dirinya sendiri
kepada penerima gadai. Demikian pula penerima gadai, juga bisa perseorangan,
persekutuan atau badan hukum yang menerima penyerahan kebendaan bergerak
sebagai jaminan atau agunan bagi pelunasan hutang yang diberikan kepada pemberi
gadai oleh penerima gadai.
Di indonesia,
satu-satunya lembaga yang memberikan pinjaman atau kredit berdasarkan hukum
gadai (pawn shop), yaitu lembaga pegadaian yang sudah di kenal sejak
zaman penjajahan Belanda. Di samping melayani pemberian kredit atau pinjaman
berdasarkan hukum gadai, Perusahaan Umum Pegadaian mengembangkan produk jasa
pegadaian lainnya, yaitu jasa taksiran, jasa titipan, toko emas (gold
counter) dan tabungan emas ONH (Ongkos Naik Haji). Kini Perusahaan Umum
Pegadaian telah berkembang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
di setiap kota di seluruh Indonesia[17].
- Kebendaan Bergerak sebagai Objek Hukum dalam Gadai
Apabila ketentuan
dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 (1),
Pasal 1152 bis, Pasal 1153 dan Pasal 1158 (1) KUH Perdata, maka jelas
padadasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum dalam gadai.
Pasal 1150 KUH Perdata antara
lain menyatakan :
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak,..
Dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH
Perdata antara lain dinyatakan :
Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas
piutang-piutang bawa...
Pasal 1152 bis KUH Perdata
antara lain menyatakan :
Untuk meletakkan gadai atas surat-surat
tunjuk...
Kemudian Pasal 1153 KUH
Perdata anta lain menyatakan :
Jika suatu piutang digadaikan...
Terakhir pasal 1158 ayat (1)
KUH Perdata antara lain menyatakan :
Jika suatu piutang digadaikan...
Dari ketentuan di
atas, jelas bahwa objek gadai berupa kebendaan bergerak, yang dapat dibedakan
atas : (1) kebendaan bergerak yang berwujud atau bertubuh (lichamelijk);
dan (2) kebendaan bergerak yang tidak berwujud atau bertubuh (onlichamelijk)
berupa piutang atau tagihan-tagihan dalam bentuk surat-surat berharga.
Surat-surat berharga tersebut macam-macam tergantung kepada jenis klausulnya,
yaitu : (1) surat berharga atas pengganti (aan order, to oorder); (2) surat
berharga atas pembawa (tunjuk) (aan toonder, to bearer); dan (3) surat berharga
atas nama (op naam).
Selain itu, piutang
yang belum ada, tetapi sudah diperjanjikan dalam perjanjian utang piutang atau
hubungan hukum yang serupa dapat pula dijadikan sebagai objek hak gadai.[18]
Dewasa ini barang-barang
yang umumnya dapat diterima sebagai jaminan kredit gadai oleh Perum Pegadaian
di antaranya : (1) barang-barang perhiasan (emas, perak, intan, berlian,
mutiara, platina, dan jam, arloji); (2) barang-barang kendaraan (sepeda, motor,
mobil, bajaj, bemo, becak); (3) barang-barang eletronika (televisi, radio,
komputer, kulkas, tustel, mesin tik); (4) barang-barang mesin (mesin jahit,
mesin kapal motor); dan barang-barang perkakas rumah tangga (baang tekstil,
barang pecah belah)[19]
Dimungkinkan gadai atas
kebendaan bergerak yang tidak berwujud atau bertubuh dinyatakan dalam ketentuan
dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat
(2), Pasal 1152 bis dan Pasal 1153 KUH Perdata. Dari ketentuan Pasal tersebut,
dapat diketahui bahwa kebendaan bergerak yang tidak berwujud berupa hak tagihan
atau piutang, surat-surat berharga, dapat pula digadaikan sebagai jaminan
utang.
f.
Kesahan Suatu Hak
gadai
Untuk terjadinya
hak gadai harus memenuhi dua unsur mutlak yaitu : pertama, harus ada perjanjian
pemberian gadai (perjanjian gadai) antara pemberi gadai (debitur sendiri atau
pihak ketiga) dan pemegang gadai (kreditor).
Mengenai bentuk
hubungan hukum perjanjian gadai mana tidak ditentukan, apakah dibuat secara
tertulis ataukah cukup dengan lisan saja; hal itu akan diserahkan kepada para
pihak. Apabila dilakukan secara tertulis, dapat dituangkan dalam akta notaris
maupun cukup dengan akta di bawah tangan saja. Namun yang terpenting, bahwa
perjanjian gadai itu dapat dibuktikan adanya.
Ketentuan dalam Pasal 1151 KUH Perdata menyatakan, bahwa persetujuan
gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan pembuktian persetujuan
pokoknya.
Dengan demikian
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1152 KUH Peradata tersebut, maka perjanjian
gadai tidak disyaratkan dalam bentuk tertentu, dapat saja dibuat dengan
mengikuti bentuk perjanjian pokoknya, yang umumnya perjanjian pinjam meminjam
uang, perjanjian kredit bank, pengakuan utang dengan gadai barang, jadi bisa
tertulis secara lisan saja.
Syarat yang kedua,
yang mesti ada, yaitu adanya penyerahan kebendaan yang digadaikan tersebut
dari tangan debitur pemberi gadai kepada tangan kreditor pemegang gadai. Dengan
kata lain bahwa kebendaan gadainya harus berada di bawah penguasaan kreditor
pemegang gadainya, sehingga perjanjian gadai yang tidak dilanjutkan dengan
penyerahan kebendaan gadainya kepada kreditor pemegang gadai, maka hak gadainya
diancam tidak sah atau hal itu bukan suatu gadai, dengan konsekuensi tidak
melahirkan hak gadai.
Ketentuan dalam Pasal 1152
ayat (1) KUH Perdata menentukan, bahwa :
Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas
piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah
kekuasaan yang berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah
disetujui oleh kedua belah pihak.
Dari bunyi ketentuan dalam
Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata dapat diketahui, bahwa hak gada akan terjadi
bila :
·
Barang gadainya
diletakan di bawah penguasaan kreditor pemegang gadai, artinya penguasaan
barang gadainya dialihkan dari debitur pemberi gadai kepada kreditor pemegang
gadai. Penguasaan barang gadai oleh kreditor pemegang gadai tidak menyebabkan
barang gadai itu beralih atau menjadi milik kreditor pemegang gadai. Kreditor
pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan (hak retetie) barang gadai
yang diserahkan debitur pemberi gadai lunas;
·
Berdasarkan
kesepakatan besama antara debitur dan kreditor, maka barang gadai tersebut
dapat saja diletakkan dibawah penguasa debitur pemberi gadai, artinya barang
gadai itu harus “dikeluarkan” dari penguasaan debitur pemberi gadai. Ini
merupakan syarat mutlak terjadinya hak gadai.
Apabila barang
gadai tersebut tetap berada dalam penguasaan debitur pemberi gadai ataupun
karena kemampuan kreditor pemegang gadai diserahkan kembali penguasaannya
kepada debitur pemberi gadai, maka hak gadai masih belum terjadi, walaupun
sudah ada perjanjian gadainya. Perjanjian gadainya masih belum menimbulkan hak
gadai, bilamana barang gadai tetap berada dalam penguasaan debitur pemberi
gadai atau barang gadai masih belum diserahkan dalam penguasaan kreditor
pemegang gadai. Dengan kata lain hak gadainya menjadi tidak sah. Ancaman
ketidaksahan hak gadai dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 1152 ayat (2) KUH
Perdata, yang menyatakan sebagai berikut :
Tak sah adalah hak gadai atas segala benda
yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan yang berutang atau pemberi gadai, ataupun
yang kembali atas kemauan penerima gadai.
Dalam pasal 1152 ayat (3) KUH
Perdataantara lain dinyatakan, bahwa :
Hak gadai hapus, apabila barang gadai keluar
dari kekuasaan penerima gadai.
Berdasarkan
ketentuan di atas, jelas bahwa terjadinya hak gadai itu bilamana barang gadai
dikeluarkan dari penguasaan debitur pemberi gadai, walaupun barang gadai
tersebut kemudian diletakkan dibawah penguasaan pihak ketiga pemegang gadai.
Apabila yang
terakhir ini, maka pihak ketiga tersebut berkedudukan sebagai pemegang (houder)
untuk kreditor, tetapi dengan kedudukan yang mandiri, artinya dia bukan lasthebber
(kuasa) dari kreditor dan karenanya tidak tunduk kepada perintah-perintah
kreditor, tetapi ia berkewajiban agar maksud perjanjian gadai terlaksana sesuai
dengan yang semestinya dan baru menyerahkan barang tersebut untuk dieksekusi,
kalau debitur sudah wanprestasi.
Agar memenuhi
persyaratan ini penerima gadai harus menyediakan tempat penyimpanan yang layak
terhadap barang-barang yang diterimanya sebagai gadai. Dalam hal ini dapat
dibayangkan betapa dan berapa besarnya tempat penyimpanan tersebut apabila yang
digadaikan misalnya meliputi barang-barang seperti mesin-mesin besar, alat-alat
besar, prahoto, mobil dan lain sebagainya, bahkan adakalanya juga lembu dalam
jumlah besar dan lain sebagainya.
- Cara Mengadakan Hak Gadai
Meletakkan gadai
atas kebendaan yang bergerak pada umumnya dilakukan dengan cara membawa
kebendaan yang hendak digadaikan tersebut dan selanjutnya menyerahkan kebendaan
yang bergerak secara fisik kepada kreditor pemegang gadai untuk dijadikan
sebagai jaminan utang. Sedangkan gadai atas kebendaan gerak yang tidak berwujud
pada dasarnya dilakukan dengan cara harus diberitahukan kepada orang yang
berkewajiban melaksanakannya dan dia juga dapat menuntu supaya ada bukti yang
tertulis dari pemberitahuan dan izinnya pemberi gadai.[20]
Gadai atas
surat-surat atas pengganti (aan order, to order)yang memuat piutang-piutang,
yang memungkin pembayaran uang kepada orang yang disebut dalam surat itu atau
kepada penggantinya, maka penggadaiannya dilakukan dengan endosemen, di
samping penyerahan.[21]
Ketentuan dalam Pasal 1152 bis KUH Perdata menentukan, bahwa untuk meletakkan
gadai atas surat-surat kepada order, diperlukan selain penyebutan haknya
dialihkan kepada pemegang gadai (scara endosemen), juga penyerahan
surat-suratnya secara fisik kepada pemegang gadai (kreditor). Dengan demikian
gadai atas surat piutang atas pengganti harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :
(1) harus ada perjanjian gadai; (2) diperlukan endosemen; dan (3) surat
piutangnya harus diserahkan kepada pemegang gadai.
Apabila surat-surat
berharga yang digadaikan berupa surat-surat atau piutang-piutang atas nama (op
naam), yang memungkinkan pembayaran uang kepada orang yang namanya disebut
dalam surat itu, seperti saham atas nama, deposito berjangka, maka pegadaiannya
dilakukan dengan memberitahukannya kepada debitur, baik secara lisan maupun
tulis. Sehubungan itu, ketentuan dalam Pasal 1153 KUH Perdata menyatakan bahwa,
hak gadai atas kebendaan bergerak yang tidakbertubuh, kecuali surat-surat
tunjuk atau surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal
penggadaiannya, kepada orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus
dilaksanakan. Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang
izinnya si pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis.
Dengan demikian,
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1153 KUH Perdata, maka gadai atas
tagihan-tagihan atas nama dipersyaratkan, yaitu : (1) harus ada perjanjian
gadai; dan (2) harus dengan pemberitahuan mengenai penggadaian tersebut kepada
orang yang berkewajiban membayar uang itu dan dia dapat menuntut supaya ada
suatu bukti tertulis dari pemberitahuan dan izinnya pemberi gadai.
Gadai atas
surat-surat berharga yang digadaikan berupa piutang-piutang atas pembawa
(tunjuk) (aan toonder, to bearer), seperti cek, sertifikat deposito, saham,
obligasi, yang memungkinkan pembayaran uang kepada siapa saja yang memegangnya,
maka penggadaiannya dilakukan dengan cara membawa dan menyerahkan secara fisik
surat-surat berharga yang aan digadaikan kepada kreditor pemegang gadai. Apabila
debitur pemberi gadai wanprestasi, kreditor pemegang gadai dapat menuntut
pembayaran sejumlah uang sesuai dengan yang tertera dalam surat-surat
berhargaatas pembawa tersebut dengan menyerahkan kembali kepada debitur yang
bersangkutan. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam pasal 1152 ayat
(1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa hak gadai atas benda-benda bergerak
dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di
bawah kekuasaan si berpiutang, atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah
disetujui oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, gadai atas piutang atas
tunjuk/atas bawa (aan toonder) dipersyaratkan selain harus ada perjanjian
gadai, juga harus menyerahkan secara riil barang gadai dari debitur/pemberi
gadai kepada kreditor/pemegang gadai.
Kalau dibandingkan
ada beberapa hal perbedaan antara cessie terhadap piutang atas nama dan
gadai mengenai piutang nama, yaitu
a. Untuk adanya cessie diperlukan adanya
akta (akta otentik atau akta di bawah tangan), sedangkan pada gadai
perjanjiannya tidak terikat pada suatu bentuk yang tertentu )bebas)
b. Pada cessie dengan adanya akta itu
perbuatan hukum itu sudah selesai, sedangkan adanya pemberitahuan kepada
debitur itu ialah supaya dbitur itu terikat oleh adanya cessie itu. Pada
gadai dengan adanya akta saja perbuatan hukum itu belum selesai dan baru
selesai setelah adanya pemberitahuan;
c. Pada cessie pemberitahuan itu harus
dilakukan oleh juru sita dengan exploit. Sedangkan pemberitahuan pada pand
itu dapat dilakukan dengan bebas, bisa dilakukan secara tertulis maupun
lisan.
- Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pemberian Gadai
1) Hak Pemberi Gadai
·
Berhak untuk
menuntut apabila barang gadai itu telah hilang atau mundur sebagai akibat dari
kelalaian pemegang gadai;
·
Berhak mendapat
pemberitahuan terlebih dahulu dari pemegang gadai apabila barang gadai akan
dijual;
·
Berhak mendapatkan
kelebihan atas penjualan barang gadai setelah dikurangi dengan pelunasan
utangnya;
·
Berhak mendapatkan
kembali barang yang digadaikan apabila utang-utang dibayar lunas.
2) Kewajiban Pemberi Gadai
·
Berkewajiban untuk
menyerahkan barang yang dipertanggungkan sampai pada waktu hutang dilunasi,
baik yang mengenai jumlah pokok maupun bungan;
·
Bertanggung jawab
atas pelunasan utangnya, terutama dalam hal penjualkan barang yang digadaikan;
·
Berkewajiban
memberikan ganti kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang
gadai untuk menyelamatkan barang digadaikan;
·
Apabila telah
diperjanjikan sebelumnya, pemberi gadai harus menerima jik pemegang gadai
menggadaikan lagi barang yang di gadaikan tersebut[22].
3) Hak Pemegang Gadai
·
Menahan benda yang
di gadaika (hak retentie) selama debitur/ pemberi gadai belum melunasi utang
pokok maupun bunga dan biaya-biaya lainnya;
·
Mengambil pelunasan
dari hasil pendapatan penjuakan kebendaan yang digadaikan, penjualannya mana
baik dilakukan atas dasar parate eksekusi mapun putusan pengadilan;
·
Mendapatkan
penggantian seluruh biaya perawatan barang yang digadaikan guna keselamatan
barang gadainya;
·
Jika piutang yang
digadaikan menghasilkan bunga, maka kreditor pemegang gadai berhak atas bunga
benda gadai tersebut dengan memperhitungkannya dengan bunga utang yang
seharusnya dibayarkan kepadanya atau kalu piutangnya tidak dibebani dengan
bunga, maka bunga benda gadai yang diterima kreditor pemegang pada gadai
dikurangkan dari pokok utang.
4) Kewajiban Pemegang gadai
·
Bertanggung jawab
atas hilang atau berkurangnya nilai barang yang digadaikan yang diakibatkan
oleh karena kelalaian pemegang gadainya;
·
Berkewajiban
memberitahukan kpada debitur pemberi gadai, apabila ia bermaksud hendak menjual
barang yang digadaikan kepada debitur pemberi gadai dengan melalui sarana pos,
telekomunikasi, atau sarana komunikasi lainnya;
·
Berkewajiban untuk
mengembalikan barang yang digadaikan setelah utang pokok beseta dengan bunga
dan biaya-biaya lainnya telah dilunasi oleh debitur pemberi gadai;
·
Pemegang dilarang
untuk menikmati barang yang digadaikan dan pemberi gadai berhak untuk menuntut
pengembalian barang yang digadaikan dari tangan pemegang gadai bila pemegang
gadai menyalahgunakan barang yang digadaikan;
·
Berkewajiban
memberikan peringatan (somasi) kepada debitur pemberi gadai telah lalai
memenuhi kewajiban membayar pelunasan piutangnya;
·
Berkewajiban
menyerahkan daftar perhitungan hasil penjualan barang gadai dan sesudahnya
kreditor pemegang gadai dapat mengambil bagian jumlah yang merupakan bagian
dari pelunasan piutangnya.
i.
Eksekusi dan Hapusnya Jaminan Gadai
Pada dasarnya eksekusi barang jaminan gadai dilakukan dengan
penjualan di muka umum melalui pelelangan dengan meminta bantuan kantor/badan
lelang. Namun berdasarkan parate eksekusi, maka kreditor/pemegang gadai
mempunyai wewenang penuh tanpa melalui pengadilan untuk mengeksekusi barang
jaminan.[23]
Hal ini dapat dilakukan bilamana sebelumnya hal tersebut sudah dijanjikan.
Seperti yang dikatakan dalam ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata antara
lain menyatakan, bahwa ..... setelah dilakukannya suatu peringatan untuk
membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut
kebiasaan-kebiasaan setempat....
Selain itu, penjualan atas barang jaminan gadai juga dapay
dilakukan secara tertutup atau tidak dilakukan penjualan di muka umum melalui
pelelangan. Penjualan atas barang jaminan gadai yang demikian itu dilakukan
atas perintah pengadilan, yang mana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1156
ayat (1) KUH Perdata yang antara lain menyatakan bahwa .... si berpiutang dapat menuntut di muka Hakim
supaya barang gadainya dijual menurut cara yang ditentukan oleh Hakim ...
Sementara itu, terhadap penjualan atas barang gadai berupa
surat-surat berharga dilakukan di tempat di mana surat-surat berharga di
lakukan di tempat di mana surat-surat berharga itu di perdagangkan dengan
syarat dilakukan melalui bantuan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam
perdagangan surat-surat berharga tersebut. Hal ini dinyatakan dalam ketentuan
Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata yang menyatan bahwa jika barang gadainya
terdiri atas barang-barang perdagangan atau di bursa, maka penjualannya dapa
dilakukan di tempat-tempat tersebut, asal dengan perantaraan dua orang makelar
yang ahli dalam perdagangan barang-barang itu.
Berkenaan dengan sebab-sebab berakhir atau hapusnya jaminan gadai,
KUH Perdata tidak mengatur secara khusus. Namun demikian, berdasrakan
Pasal-Pasal KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga hak jaminan gadai dapat
diketahui hal yang menjadi dasar bagi hapus atau berakhirnya jaminan hak gadai
tersebut, yaitu : (1) hapusnya perjanjian pokok atau perjanjian pendahuluan
yang dijamin dengan gadai, yang dikarenakan pelunasan hutang, perjumpaan utang
(kompensasi), pembaruan utang (novasi), atau pembebasan utang ; (2) lepasnya
benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang hak gadai, dikarenakan
terlepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang gadai,
dilepaskannya benda yang digadaikannya; (3) terjadinya pencampuran, dimana
pemegang gadai sekaligus juga menjadi pemilik barang yang digadaikan; dan (4)
terjadinya penyalahgunaan barang gadai oleh kreditor pemegang gadai.
3.
Fidusia
a.
Istilah, Pengertian dan Sejarah Fidusia
Fidusia merupakan istilah resmi
dalam dunia hukum negara Indonesia, tetapi kadang-kadang dalam bahasa Indonesia
disebut juga dengan Istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Dalam
terminologi Belandanya sering disebut dengan Istilah fiduciare eigendom
overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya fiduciary transfer of
ownership. Namun terkadang dalam literatur Belanda kita jumpai pula
pengungkapan jaminan fidusia dengan istilah-istilah sebagai berikut:
·
Zekerheids-eigendom
(hak milik sebagai jaminan)
·
Bezitloos zekerheidsrecht (jaminan tanpa menguasai)
·
Verruimd pand begrip
(gadai yang diperluas)
·
Eigendomsoverdracht tot zekerheid (penyerahan hak milik secara jaminan)
·
Bezitloos pand dan een verkapt pand recht (gadai berselubung)
Jaminan fidusia adalah suatu jaminan
utang yang bersifat kebendaan (baik utang yang telah ada maupun utang yang akan
ada), yang pada prinsipnya memberikan barang bergerak sebagai jaminan dengan
memberikan pengusaan dan penikmatan atas benda objek jaminan utang tersebut
kepada debitor (dengan jalan pengalihan hak milik atas benda objek jaminan
tersebut kepada kreditor) kemudian pihak kreditor menyerahkan kembali
penguasaan dan penikmatan atas benda
tersebut kepada debitornya secara kepercayaan (fiduciary).
Dalam konteks ini, apabila utang
yang dijamin dengan jaminan fidusia sudah dibayar lunas sesuai yang
diperjanjikan, maka titel kepemilikan atas benda tersebut diserahkan kembali
oleh kreditor kepada debitor. Sebaliknya, apabila utang tidak terbayar lunas,
maka benda objek fidusia tersebut harus dijual, dan dari harga penjualan itu
akan diambil untuk dan sebesar pelunasan utang sesuai perjanjian, sedangkan
kelebihannya (jika ada) harus dikembalikan kepada debitor. Sebaliknya, apabila
dari hasil penjualan benda objek jamian fidusia ternyata tidak menutupi utang
yang ada, maka debitor masih berkewajiban membayar sisa utang yang belum
terbayarkan tersebut.[24]
Beberapa
prinsip utama dari jamianan fdusia adalah sebagai berikut:
a.
Bahwa secara rill, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang
jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya.
b.
Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru adajika
ada wanprestasi dari pihak debitur.
c.
Apabila utang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia mesti
dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.[25]
d.
Jamianan fidusia merupakan jaminan ikutan (assessoir/perjanjian
bantuan) yang bermakna bahwa tidak bisa berdiri sendiri (zelfstanding)
dengan konsekuensi antara lain:
·
Jaminan fidusia mengikuti perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian
utang piutang.
·
Apabila utangnya hapus atau lunas di bayar, maka fidusia pun hapus
dan barang jaminan fidusia harus diserahkan kembali kepemilikan dan penguasaan
kepada debitor.
·
Apabila utang yang dijamin dengan fidusia beralih ke pihak lain,
maka jaminan fidusia pun ikut beralih juga.
e.
Debitor harus memelihara objek jaminan fidusia dengan baik, tidak
boleh dialihkan, disewakan, digadaikan, dan sebagainya.
f.
Berlakunya prinsip droit de suit
g.
Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah
utangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.
h.
Jaminan fidusia dapat dapat diikat atas benda yang sudah ada maupun
atas benda yang baru akan ada dikemudian hari.
i.
Jaminan fidusia dapat dapat diikat atas bangunan atau rumah yang
terletak di tanah milik orang lain.
j.
Pemberi jaminan fidusia haruslah pihak yang memiliki kewenangan
hukum atas objek jaminan fidusia.
k.
Jaminan fidusia tidak daapt dipisah-pisah. Dalam konteks ini,
meskipun fidusia dapat diikat untuk beberapa kreditor sekaligus tetapi benda
objek jaminan fidusia dari satu fidusia untuk seluruh kreditor tersebut tidak
dapat dibagi-bagi, maksudnya menentukan bahwa bagian tertentu dari objek
jaminan adalah untuk kreditor tertentu juga.
l.
Objek fidusia tidak dapat dipecah-pecah (split) ataupun
digabung.
m.
Berlaku asas publisitas: suatu jaminan fidusia harus didaftar ke
kantor pendaftaran fidusia agar dapat dilihat oleh public.
n.
Fidusia terdafatr mendapat prioritas pembayaran lebih dulu daripada
fidusia yang tidak didaftarkan.
o.
Tidak boleh dieksekusi secara mendaku.tinya , benda objek jaminan
fidusia tidak dapat dieksekusi menjadi langsung milik kreditor, meskipun
diperjanjikan seperti itu oleh para pihak.
Selain itu, agar peralihan hak dalam
konstruksi hukumtentang fidusia ini sah maka harus memenuhi syarat-syarat
berikut (Sofwan, Sri Soedewi Mascjhoen, 1977:27):
·
Terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk;
·
Adanya titel untuk suatu peralihan hak;
·
Adanya kewenagan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan
benda;
Cara
tertentu untuk penyerahan. Yakni, dengan cara constitutum possessorium (penyerahan
kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali)bagi benda bergerak
yang berwujud,dan dengan cara cessie untuk utang piutang.
1)
Konstruksi Yuridis terhadap jaminan Fidusia
Munculnya jaminan fidusia sangat
kental berdampingan dengan rekayasa (dalam arti positif). Berikut
asal-muaslnya.
Sistem hukum Belanda dahulu dikenal
gadai (pand) untuk jaminan barang bergerak. Dalam gadai seperti ini, barang
objek jaminan utang diserahkan kepada kreditor. Sementara jaminan untuk barang
tidak bergerak hanya dikenal berupa hipotek, yang barang objek jaminan utangnya
tidak diserahkan ke dalam kekuasaan kreditor.Jadi tidak dikenal jaminan untuk
barang bergerak yang bukan gadai, padahal dalam praktik dibutuhkan jaminan barang bergerak yang tidak menyerahkan benda
objek jaminan utang kepada kreditor.
Sedangkan hipotek mensyaratkan
penyerahan benda dan hanya diperuntukkan terhadap barang tidak bergerak saja.
Padahal dalam praktik ada kebutuhan untuk menjaminkan barang bergerak, tetapi
tanpa penyerahan barang secara fisik. Akhirnya, muncullah suatu rekayasa untuk
memenuhi kepentingan praktik seperti itu dengan jalan pemberian jaminan
fidusia, yang berlaku di negeri Belanda dan di Indonesia.
Rekayasa hukum tersebut dilakukan
lewat bentuk global yang disebut “ constitutum possessorium ” (penyerahan
kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik sama sekali). Ditempuh melalui tiga
fase, yaitu:
FASE I:
Fase perjanjian Obligator (obligatoir overeenskomst), yaitu perjanjian pinjam
uang dengan jaminan fidusia di antara pihak pemberi fidusia (debitor) denagn pihak penerima
fidusia (kreditor).
FASE II:
Fase perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst), perjanjian kebendaan yaitu
penyerahan hak milik dari deibitor kepada kreditor, dalam hal ini dilakukan
secara constitutum possessorium.
FASE III:
Fase perjanjian pinjam pakai, dalam fase ketiga ini dilakukan perjanjian pinjam
pakai. Benda objek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak
kreditor tersebut dipinjampakaikan kepada pihak debitor. Benda tersebut,
setelah diikat dengan jaminan fidusia, praktis tetap saja dikuasai secara fisik
oleh pihak debitor.
Dari ketiga fase tersebut dapat
disimpulkan bahwa konstruksi tersebut adalah konstruksi rekayasa yang sekedar
mencari jalan agar fidusia dapat dijadikan jaminan atas benda bergerak tanpa
perlu menyerahkan benda secara fisik kepada kreditor. Tetapi dalam UU Fidusia
No. 42 Tahun 1999 pada prinsipnya tetap memberlakukan fidusia dengan konsep
penyerahan hak milik, tidak semata-mata jaminan saja.
Di samping itu, berbarengan denga
teori kepemilikam/title theory (dalam hal fidusia, titel kepemilikan
atas benda jaminan fidusia sudah beralih dari debitor kepada kreditor, meskipun
kemudian fisik benda tersebut diserahkan kembali kepada debitur) terdapat juga
apa yang disebut dengan teori “jaminan” (lien theory). Teori jaminan
mengajarkan bahwa fidusia hanya menimbulkan suatu jaminan utang saja, seperti
juga dengan jaminan utang lainnya semisal hipotek atau gadai, tanpa ada
peralihan kepemilikan atas benda objek jaminan tersebut. Sebenarnya, untuk
sebuah jaminan utang seperti fidusia, teori jaminan yang lebih reasonableuntuk
dianut. Karena dalm satu dan lain hal, penerapan title theory
dilatarbelakangi oleh akal-akalan akibat kevakuman hukum semata-mata (tidak ada
hukum yang mengakui lembaga jamianan benda bergerak yang barangnya tidak
diserahkan). Akan tetapi, dengan adanya undang-undang berarti hukum tersebut
tidak kosong lagi, sehingga akal-akalan seperti itu tidak diperlukan lagi..
Karena itu, tidak mengherankan
ketika hukum positif Indonesia menganut sistem fidusia dengan teori
kepemilikan, untuk itu diperlukan banyak pengkecualian terhadap teori
tersebut.Namun dalam hal berlaku tori kepemilikan tetapi unsur-unsur dari teori
jaminan tetap diperlakukan.
Dasar dari fidusia adalah suatu
perjanjian, yakni perjanjian fidusia. Perikatan yang menimbulkan fidusia ini
mempunyai karakteristik sebagi berikut (Oey Hoey Tiong, 1985:32):
a.
Antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia terdapat suatu
hubungan perikatan yang menerbitkan hak bagi kreditor untuk meminta penyerahan
barang jamiana dari debitor (secara constitutum possessorium) kepada kreditor.
b.
Perikatan tersebut adalah perikatan untuk memeberikan sesuatu,
karena debitor menyerahkan suatu barang (secara constitutum possessorium)
kepada kreditor.
c.
Perikatan dalam rangka pemberian fidusia merupakan perikatan yang
assessoir.
d.
Perikatan fidusia tergolong ke dalam perikatan dengan syarat batal,
karena jika utangnya dilunasi maka hak jaminannya secara fidusia menajdi hapus.
e.
Perikatan fidusia tergolong ke dalam perikatan yang bersumber dari
suatu perjanjian, yakni perjanjian fidusia.
f.
Perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara
khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong ke dalam
perjanjian tidak bernama.
g.
Perjanjian fidusia tetap tunduk kepada ketetuan bagian umum dari
perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata.
2)
Sejarah Fidusia
Dalam sejarah terlihat bahwa
sebenarnya lembaga fidusia dalam bentuk klasik sudah dibentuk sejak zaman
Romawi. Dalam konstruksi hukum ini, barang-barang debitor diserahkan
kepemilikannya kepada kreditor, tetapi dimaksudkan hanya sebagi jamian utang.
Berbarengan dengan itu, di Romawai terdapat pula istilah fiducia cum amico, tetap
hanya dimaksudkan sebagai pengangkatan seorang wakil untuk memelihara
kepentingannya. Jadi, tidak ada penyerahan hak milik atau jaminan utang
sebagaimana dilakukan dalam pengikatan fidusia saat ini.
Kemudian, dalam sejarah hukum di
Romawi (di penghujung zaman klasik) berkembang pula lembaga pand (gadai)
dan hipotek (hak tanggungan) sehingga peranana lembaga fidusia sebagai jaminan
utang mulai berkurang, sampai kemudian peranan dan eksistensinya lenyap sama
sekali sejak zaman klasik di bawah pemerintah Justianus. Walupun begitu hukum
Romawi tetap diadopsi oleh negara-negara Eropa Kontinetal, sehingga mereka
tidak kenal lembaga fidusia. Waktu itu yang ada hanyalah pand untuk
benda bergerak dan hipotek untuk benda tidak bergerak.
Namun dalam praktek hukum di
negara-negara Eropa Kontinental dirasakan bahwa pand dan gadai
eksistensinya belum cukup, khususnya jika ada pembebenan jaminan terhadap
barang bergerak yang fisik bendanya tidak perlu dialaihkan kepada kepada pihak
kreditor. Dengan menyadari kebutuhan dalam praktik tersebut, akhirnya
dimunculkan kembali lembaga fidusia (dalam bentuk yang modern) sebagai jaminan
utang lewat konstruksi yang unsur rekayasa sangat kental. Kemudian jaminan
fidusia dalam bentuk yang modern diterima baik dalam praktik hukum dan diakaui
oleh yurisprudensi. Dewasa ini banyak negara yang sudah mempunyai undang-undang
yang mengatur tentang fidusia. Termasuk Indonesia didalamnya dengan
Undang-undang No. 42 Tahun 1999.
Jadi munculnya konsep fidusia
bermula dari adanya pemisahan benda menjadi benda bergerak (movable) dan benda
tidak bergerak (immovable).
a.
Sejarah Fidusia di Negeri Belanda
Sejarah lahirnya lembaga fidusia di
negeri Belanda tidak terlepas dari kebutuhan dan keadaan perekonomian saati
itu. Pada abad ke-19, di negeri Belanda terjadi kemerosotan hasil panen
sehingga perusahaan-perusahaan pertanian sangat membutuhkan modal, sementara
hipotek tidak dapat diandalkan sebab para petani hanya mempunyai tanah yang
sangat terbatas untuk dapat dijadikan jamina utang. Disamping itu, agar para
petani dapat mengambil kreditnya selain hipotek, bank-bank saat itu juga
memerlukan jaminan lain dalam bentuk gadai. Akan tetapi, para petani tidak
dapat menyerahkan barang-barangnya untuk digadaikan karena dibutuhkan untuk
proses produksi pertanian. Maka di carikan solusi lain oleh negara Belanda
namun belum juga dirasakan pas. Akhirnya , di negara Belanda mulilah dihidupkan
kembali bentuk pengalihan hak milik secara kepercayaan atas barang-barang
bergerak, sebagaimana prototip yang telah dipraktekkan secara klasik di zaman
Romawi, yang disebut dengan fidusia cum creditorei. Di negara Belanda diakui
lembaga fidusia oleh yurisprudensi lewat putusan pertamanya tentang fidusia,
yaitu putusan tanggal 25 Januari 1929.N.J.1929, 616 yang popular dengan nama Bierbrouwerij
Arrest.
Dalam putusan Bierbrouwerij
Arrest tersebut dinyatakan bahwa jaminan fidusia tidak dimaksudkan untuk
menyelundupkan/menggagalkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh
undang-undang secara tidak pantas. Dalam konteks fidusia dianggap legal diamata
pengadilan.
Putusan Hoge Raad (HR) dalam
Bierbrouwerij Arrest mengakui jaminan fidusia dengan pertimbangan (Badrulzaman,
Mariam Darus, 1979:91):
1.
Perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan aturan tentang gadai,
karena maksud para pihak tersebut bukanlah untuk membuat pengikatan gadai
2.
Perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan paritas creditorium,
karena perjanjian tersebut mengenai barang-barang milik Heineken (kreditor),
bukan milik Bos (debitor)
3.
Perjanjian fidusia tersebut tidak bertentangan dengan asas
kepatutan,
4.
Perjanjian tersebut bukan merupakan penyuludupan hukum yang tidak
diperbolehkan.
Catatan:
Dalam putusan HR tersebut, curator
diperintahkan untuk menyerahkan benda objek fidusia kepada Heineken.
Setelah putusan Hoge Raad Belanda
dalam Bierbrouwerij Arrest ini, maka muncul lagi putusan-putusan HR lainny,
misalnya putusan yang merupakan arrest kedua berupa Hakkers-van Tilburg Arrest
(putusan HR tanggal 21 Juni 1929, N.J. 29-1096) yang membenarkan fidusia
terhadap mobil. Setalah itu, banyak putusan-putusan HR lainnya yang menyatakan:
·
Putusan yang secara analogi memberlakukan undang-undang kepailitan
mengenai gadai dan hipotek kepada fidusia;
·
Putusan yang memberlakukan ketentuan-ketentuan gadai secara mutatis
mutandis terhadap fidusia;
·
Putusan yang mengakui fidusia sejauh tidak langsung menyangkut
dengan pihak ketiga;
·
Putusan yang memberikan hak preferens dari penjual atas harga
barang yang belum dibayar (hak reklame) dari hak fidusia.
b.
Sejarah Fidusia di Beberapa Negara Lain
Jika telusuri sejarah, sebenarnya
lembaga fidusia dengan berbagai variasinya telah dipraktikkan juga di beberapa
negara maju lainnya selain Belanda (Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1982:79).
Di Jerman, dalm praktik bahkan
sebelum tahun 1900 telah dikenal sejenis jaminan atas benda bergerak yang
penguasaannnya tidak diserahkan kepada kreditor, mirip dengan lembaga fidusia.
Misalnya lembaga seicherungsubereignung terdapat benda-benda bergerak atas
piutang
Di negara-negara yang berlaku hukum
Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat juga sudah lama dikenal gadai
atas benda bergerak tanpa penyerahan kekuasaan atas benda kepada pihak
kreditor, yaitu yang dikenal dengan chattel mortgage.
c.
Sejarah Fidusia di Indonesia
Di Indonesia lembaga fidusia
berkembang melaui yurisprudensi, sebelum diterbitkan UU khusus tentang fidusia,
yaitu UU No. 42 Tahun 1999.
Tercatat dalam sejarah hukum
Indonesia bahwa lembaga fidusia pertama kali diakui oleh yurisprudensi
Indonesia dengan putusan HGH tanggal 18 Agustus
1932 dalam kasus BPM (penggugat) melawan pedro Clignett.
Setelah putusan BPM tersebut, baik
Mahkamah Agung di zaman kemerdekaan telah memberikan beberapa putusan, yang
menyimpulkan bahwa:
1.
Lembaga fidusia hanya diperunyukkan terhadap benda bergerak.
2.
Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan
gedung perkantoran.
3.
Menegaskan bahwa kreditor
pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya
tetapi hanay sebagai pemegang jaminan utang saja, sehingga jika uatang tidak
dibayar maka pihak kreditor tidak dapat langsung memiliki benda tersebut.
b.
Akta Jaminan Fidusia
Pembebanan
fidusia dilakukan denagn menggunakan instrument yang disebut dengan akta
jaminan fidusia. Akata jaminan fidusia ini harus memenuhi syarat, sebagai
berrikut:
1)
Harus berupa akata notaris
2)
Harus dibuat dalam bahasa Indonesia
3)
Harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagi berikut:
a.
Identitas pihak pemberi fidusi
·
Nama lengkap
·
Agama
·
Tempat tinggal/tempat kedudukan
·
Tempat lahir
·
Tanggal lahir
·
Jenis kelamin
·
Status perkawinan
·
Pekerjaan
b.
Identitas pihak penerima fidusia, dengan rincian yang sama seperti
pihak pemberi fidusia
c.
Hari, tanggal, dan jam pembuatan akta fidusia
d.
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
e.
Nilai pinjamannya
f.
Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut.
c.
Utang Yang Dijamin Dengan Fidusia
Menurut pasal 1
angka 7, yang dimaksud dengan utang dalam konteks ini adalah suatu kewajiban
yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam sejumlah uang, baik secara langsung
ataupun secara kontinjen.
Karena itu, utang-utang yang dapat
dijamin dengan fidusia adalah:
1.
Utang yang telah ada.
2.
Utang yang akan ada dikemudian hari (kontijen), tetapi telah
diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu
3.
Utang yang dapat ditentukan jumlahya pada saat eksekusi berdasarkan
suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi.
d.
Fidusia Ulang
Fidusia ulang adalah pembebanan
fidusia pada benda yang sebelumnya telah dibebani fidusia. Pada prinsipnya
fidusia tidak dapat dibenarkan. Sebabnya, UU tersebut masih menganut prinsip
fidusia bukan sebagi jamianan utang semata-mata. Dalam konteks ini, yang dianut
adalah teori kepemilikan. Jadi, jika kepemilikan sudh diserahkan kepada
kreditor tertentu, maka pikah debitor tidak mungkin menyerahkannya lagi kepada
kreditor yang lain.
Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa fidusia tidak mungkin diberikan kepada lebih dari satu
kreditor, kecuali jiak diberikan secara bersama-sama pada waktu yang juga
bersamaan dan semua kreditor saling mengetahui adanya dua atau lebih kreditor
tersebut.
e.
Objek Jaminan Fidusia
Ketentuannya
terdapat dalam pasal (1) ayat (4), pasal 9, pasal 10, dan pasal 20 UU tentang
fidusia No. 42 Tahun 1999. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia
adalah:
1.
Benda yang harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
2.
Benda berwujud.
3.
Benda tidak berwujud, termasuk didalamnya berupa piutang.
4.
Benda bergerak.
5.
Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.
6.
Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotek.
7.
Benda yang sudah ada, maupun tehadap benda yang akan diperoleh
kemudian.
8.
Satu-satuanatau jenis benda.
9.
Hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.
10.
Hasil klaim asuransi dari
benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
11.
Benda persedian/stok perdagangan
12.
Pesawat terbang dan helikopter yang telah terdaftar di Indonesia.
Menurut pasal 9 UU No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan, pesawat udara sipil
maupun militer yang beroperasi di Indonesia wajib didaftarkan. Selanjutnya
pasal 12 UU tersebut memgatur bahwa pesawat terbang dan helicopter yang telah
terdaftar di Indonesia dapat diikat dengan hipotek, kemudian hipotek itu harus
didaftarkan sebagaimana yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
pemerintah. Akan tetapi UU Penerbangan No. 1 Tahun 2009, yang tidak lagi
menyebut-nyebut tentang hipotek atas pesawat udara dan helicopter. Jadi hipotek
kembali hanya dapat diikat pada kapal laut; sedangakan pesawat terbang dan
helicopter hanya dapat diikat dengan jamiann fidusia.
Dalam hukum Anglo Saxon, pembebanan
fidusia yang berobjekkan barang persedian dikenal dengan nama floating lien
atai floating charge. Yang dimaksud dengan floating (pengambangan) adalah
karena jumlah benda yang menjadi objek jaminanannya sering berubah-ubah ,
sesuai dengan persediaan stok yang mengikuti irama pembelian dan penjualan.
Di inggris, fidusia terhadap benda persediaan
(floating charges) ini sudah diikuti oleh pengadilan sejak tahun 1870 dalam
kasus re Panam, New Zealand and Australian Royal Mail Co (Arora, Anu,
1997:330). Dalam kasus ini, untuk pertama kali diakui adanya jaminan mengambang
(floaying charges) tersebut. Dalam kasus itu, diputuskan bahwa pemegang surat
utang (debenture) mempunyai hak prioritas atas kreditor konkuren terhadap semua
barang milik perusahaan (debitor) yang ada sekarang, di waktu lalu, dan di
waktu yang akan datang. Setelah kasus panama ini, di Inggris kemudian terdapat
banyak kasus lain yang mengakui fidusia dalm bentuk floating charges.
Sifat mengambang (floating) dari
floating charges ini berubah menjadi spesifik (specific charges) ketika terjadi
suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi. Tindakan kristalisasi ini
muncul apabila terjadi keadaan-keadaan:
·
Pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan
·
Wanprestasi atau surat berharga yang dijamin dengan floating
charges
·
Pengangkatan receiver (Kurator) oleh pengadilan[26]
Sebagaimana diketahui, UU tentang fidusia No. 42 Tahun 1999 di buat
untuk mengatur masalah pembebanan fidusia. Selangkapnya pengaturan tersebut
sebagai berikut:
Di jabarkan dalam pasal 4, 5, 6, 7, 8 ,9 ,10
1)
Pendaftaran Fidusia
Fidusia lahir dalam praktik hukum yang di tuntun oleh
yurisprudensi, baik yurisprudensi Belanda
maupun yirisprudensi Indonesia. Sebagai pranata hukum yang ;lahir dari
praktik, dan juga tidak mendapat pengaturan yang berarti dalam peraturan
perundang-undangan , maka tidak ada pengaturan sari segi procedural dan proses.
Ketidakadaan kewajiban pendaftaran fidusia sangat dirasakan dalam
praktik sebagai kekurangan dan kelemahan bagi pranata hukum fidusia. Sebab,
disamping menumbuhkan ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran
jaminan fidusia tersebut menyebabkan jaminan fidusia tidak memenuhi unsur
publisitas sehingga sulit dikendalikan.[28]
Mengingat betapa pentingnya fungsi pendaftaran suatu jaminan,
termasuk didalamnya jaminan fidusia ini, UU tentang fidusia No. 42 Tahun 1999
mengaturnya dengan mewajibkan setiap jaminan fidusia untuk didaftarkan kepada
pejabat yang berwenang.
2)
Asas Publisitas dari Jaminan Fidusia
Salah satu ciri jaminan utang yang modern adalah terpenuhinya unsur
publisitas. Maksudnya, dengan semakin terpublikasinya suaut jaminan utang maka
akan semakin baik, karena kreditor ataupun khalayak ramai dapat mengetahuinya
atau mempunyai akses untuk mengetahui informasi-informasi penting disekitar
jaminan utang tersebut. Asas publisitas ini menjadi semakin penting terhadap
jaminan-jaminan utang yang fisik objek jaminannya tidak diserahkan kepada
kreditor, seperti halnya jamiann fidusia ini salah satunya.
Karena itu, kewajiban pendaftaran jaminan fidusia ke instansi yang
berwenang merupakan salah satu perwujudan asas publisistas yang sangat penting.
Dengan pendaftaran ini, diharapkan agar pihak kreditor terutama yang nakal
tidak dapat lagi mengakali kreditor atau calon kreditor dengan fidusia ulang
atau abahkan menjual barang objek jaminan fidusia tanpa sepengetahuan kreditor
asal.
3)
Kewajiban Pendaftaran Fidusia
Kewajiban pendaftaran fidusia bersumber dari pasal 11 UU tentang
fidusia No.42 Tahun 1999 pendaftaran fidusia dilakukan kepada kantor
pendaftaran fidusia ditemapat kedudukan pihak pemberi fidusia :
a.
Benda objek jaminan fidusia yang berada didalam negeri (Pasal 11
Ayat 1) .
b.
Benda objek jaminan fidusia yang berada didalam negeri (Pasal 11 Ayat
2).
c.
Terhadap Perubahan Isi Sertifikat Jaminan Fidusia (PAsal 16 Ayat
1). Perubahan ini tidak perlu dilakukan dengan akta notaris tetapi perlu
diberitahukan kepada para pihak.
4)
Kantor Pendaftaran Fidusia
Tempat pendaftran fidusia adalah di kantor pendaftaran fidusia yang
berada dibawah naungan Departemen Kehakiman RI. Untuk sementara, kantor
pendaftaran fidusia hanya didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja meliputi
seluruh Indonesia. Secara bertahap akan didirikan di Ibukota Provinsi sesuai
kebutuhan.
Pendaftaran kepada kantor pendaftaran fidusia di daerah-daerah
dapat disesuaikan dengan UU tentang Pemerintah Daerah No.22 Tahun 1999.
5)
Buku Daftar Fidusia
Pencatatan tersebut diberi tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan permohonan pendaftaran. Ketika mencatat dalam buku daftar fidusia,
kantor pendaftaran fidusia tidak berwenang melakukan penilaian terhadap
keberadaan data yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia.
Petugas pendaftaran hanya berwenang melakukan pengecekan data saja, sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal tentang ketentuan mengenai pernyataan pendaftaran
ini.
6)
Persyaratan Pendaftaran Fidusia dan Pernyataan Perubahan
Permohonan pendaftaran fidusia disampaikan kepada kantor
pendaftaran fidusia dengan melampirkan naskah “Pernyataan Pendaftaran Fidusia”.
Dalam pernyataan pendaftaran fidusia dimuat hal-hal sebagai berikut :
a.
Identitas pihak pemberi fidusia.
b.
Identitas pihak penerima fidusia.
c.
Tanggal dan nomor akta jaminan fidusia.
d.
Nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia.
e.
Daftar perjanjian pokok (Perjanjian Utang yang dijamin dengan
Fidusia).
f.
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia .
g.
Nilai penjaminan
h.
Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
7)
Sertifikat Jaminan Fidusia dan Kekuatan Pembuktian
Sebagai bukti kepemilikan hak fidusia, kepada penerima fidusia
diserahkan dokumen “Sertifikat Jaminan Fidusia”.
Karena sertifikat jaminan fidusia dikeluarkan oleh instansi yang
sah dan berwenang yaitu kantor pendaftaran fidusia, sertifikat tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sebagai suatu akta otentik. Selain itu,
hanya kantor pendaftaran fidusia yang berwenang mengeluarkan sertifikat
penjaminan fidusia. Karena itu pula, jika ada alat bukti sertifikat jaminan
fidusia dan sertifikat tersebut adalah sah, maka alat bukti laind alam bentuk
apapun harus ditolak.
8)
Ketentuan UU Berkenaan dengan Pendaftaran Fidusia
Diatur
dalam Pasal 11,12,13,14,15,16,17,18
a.
Hak Referensi dari Pemegang Fidusia
Hak referensi adalah hak dari kreditor pemegang jaminan tertentu
untuk diberikan haknya terlebih dahulu (Dibandingkan dengan kreditor lainnya)
atas pelunasan utangnya, yang diambil dari hasil penjualan barang jaminan utang
tersebut. Dalam hubungan dengan hak referensi dari penerima jaminan fidusia,
pasal 27 ayat 2 UU fidusia No.42 Tahun 1999.
Ø Hak Preferensi
Penerima Fidusia dalam Hubungan dengan Kepailitan dan Likuidasi
Hak preferensi dari penerima fidusia tidak hilang dengan pailit
atau dilikuidasiya debitor. Pernyataan ini seirama dengan ketentuan hukum
pailit yang bersumber dari UU kepailitan No.4 Tahun 1998. Dengan demikian, jika debitor pailit maka
pihak penerima fidusialah yang terlebih dahulu menerima pelunasan utangnya
daiambil dari penjualan barang objek fidusia. Setelah itu jika ada sisa, baru
diberikan kepada kreditor lainnya.
Ø Hak Preferensi
diantar Lebih dari Satu Penerima Fidusia
1.
Jika system pendaftarannya berjalan secara baik dan benar, hamper
tidak mungkin ada pendaftaran fidusia yang kedua.
2.
JIka Fidusia tidak mungkin didaftarkan, maka fidusia yang tidak
terdaftarkan tersebut sebenarnya tidak eksis, karena fidusia dianggap lahir
setelah didaftarkan (Pasal 14 ayat 3).
3.
Fidusia ulang memang dilarang oleh UU Fidusia No.42 Tahun 1999
pasal 17.
Ketentuan UU yang Bersangkutan dengan Hak Preferensi diatur dalam
UU Fidusia No. 42 Tahun 1999 dalam Pasal 27 dan 28.
Pengalihan dan hapusnya fidusia di bagi menjadi :
1.
Pengalihan benda objek jaminan fidusia;
2.
Benda persediaan sebagai objek fidusia ;
3.
Pengalihan objek jaminan fidusia oleh pemberi fidusia;
4.
Tanggung jawab penerima fidusia ats kesalahan pemberi fidusia;
5.
Hapusnya jaminan fidusia.
Ketentuan di atas di atur dalam UU fidusia No. 42 tahun 1999, pasal
19 sampai 26
Eksekusi objek jaminan fidusial di bagi menjadi[29] :
1.
Eksekusi fidusial dengan title eksekutorial;
2.
Eksekus fidusia secara
parate eksekusi melalui kantir lelang;
3.
Eksekusi fidusia secara parate eksekusi melalui penjualan di bawah
tangan;
4.
Eksekusi fidusia secara lelang sendiri tanpa melalui kantor lelang;
5.
Eksekusi fidusia secara mendaku;
6.
Eksekusi fidusia terhadap barang perdagangan dan efek yang dapat di perdagangkan;
7.
Eksekusi fidusia lewat
gugatan biasa;
8.
Eksekusi fidusia menurut UU rumah susun No. 16 tahun 1985
Ketentuan-ketentuan diatas di atur dalam UU fidusia No. 42 tahun
1999, pasal 29 sampai 34.
4)
Hak Tanggungan
a.
Pengertian
Sebagaimana diketahui, di Indonesia pada awal berlakunya Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku sebagai penjaminan tanah terhadap
utang adalah hipotek, namun sesudah
diberlakukannya UUHT, pembebasan ha katas tanah sebagai jaminan hutang tidak
lagi menggunakan jaminan hipotek, melainkan menggunakan jaminan Hak Tanggungan.[30]Sedangkan
gadai berlaku terhadap jaminan atas benda-benda bergerak.Disamping itu, dalam
praktek dahulu dikenal pula jaminan utang yang disebut dengan istilah
“fidusia”.[31]
Perlu juga diketahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak
tanggungan?
Ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UUHT merumuskan pengertian Hak
Tanggungan, yaitu : Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada ha katas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut
atau tidak berikut benda-benda yang merupakan stu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelumasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.[32]
Sebenarnya, hak tanggungan
adalah suatu hak kebendaan yang harus dibuat dengan akta otentik dan
didaftarkan serta bersifat assessoir dan eksekutorial, yang diberikan oleh
debitor kepada kreditor sebagai jaminan atas pembayaran utang-utangnya yang
berobjekkan tanah dengan atau tanpa segala sesuatu yang ada di atas tanah
tersebut, yang memberikan hak prioritas bagi pemegangnya untuk mendapat
pembayaran utang terlebih dahulu daripada kreditor lainnya meskipun tidak harus
yang mendapat pertama, yang dapat dieksekusi melalui pelelangan umum atau bawah
tangan atas tagihan-tagihan dari kreditor pemegang hak tanggungan, dan yang
mengikuti benda objek jaminan kemanapun objek hak tanggungan tersebut
dialihkan.
b.
Prinsip-prinsip Hak Tanggungan
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, maka
terpenuhilah sudah manah dari pasal 57 Undang-undang pokok Agraria. Pasal
tersebut menghendaki segera dibentuk suatu Undang-undang tentang Hak
Tanggungan. Adapun yang merupakan ciri-ciri hak tanggungan menurut
Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 adalh seperti yang disebutkan
dalam memori penjelasannya, yaitu:
·
Memberikan hak preferensi kepada pemegangnya;
·
Mengikuti objek yang dijamin, dalam tangan siapapun objek itu
berada;
·
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum.
·
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Adapun yang berkenaan dengan asas-asas tentang Hak Tanggungan ini,
Prof. Sutan Remy Syahdeini (1999: xi) menyebutkan 14 asas hak tanggungan, yaitu
:
1.
Memberikan kedudukan prioritas bagi kreditor pemegang hak
tanggungan (berlaku prinsip droi de preference).
2.
Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (dengan beberapa
kekecualian). Pada prinsipnya, roya parsial tidak dimungkinkan.
3.
Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang sudah ada
saja.
4.
Selain atas tanahnya, hak tanggungan juga dapat dibebenkan keatas
benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut. Dapat juga dibebankan atas
benda-benda yang akan ada di kemudian hari yang berkaitan dengan tanah
tersebut.
5.
Perikatan hak tanggungan bersifat asessoir.
6.
Hak tanggungan juga dapat diikatkan kepada utang yang baru aka nada
dikemudian hari.
7.
Hak tanggungan dapat juga menjamin terhadap lebih dari satu utang.
8.
Hak tanggungan mengikuti benda objeknya, ditangan siapapun benda
tersebut berada (berlaku prinsip droit de suite).
9.
Terhadap objek hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh
pengadilan.
10.
Objek hak tanggungan hanya mencakup tanah-tanah tertentu (berlaku
asas spesialitas).
11.
Hak tanggungan wajib didaftarkan (berlaku asas publisitas).
12.
Terhadap hak tanggungan dapat diberikan janji-janji tertentu.
13.
Jika mengeksekusi hak tanggungan, maka tidak boleh dengan cara mendaku (langsung menjadi milik
kreditor).
14.
Eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti. Dalam konteks ini,
sertifikat hak tunggangan bersifat eksekutorial.
c.
Objek dan Subjek Hukum dalam Hak Tanggungan
Objek hak tanggungan, yaitu benda atau hak apa saja yng dapat
dikaitkan dengan hak tanggungan, adalah :
§ Hak milik atas
tanah;
§ Hak guna usaha;
§ Hak guna
bangunan;
§ Hak pakai atas
tanah Negara, sepanjang hak pakai tersebut didaftarkan dan hak pakai tersebut
mempunyai sifat yang dapat dialihkan;
§ Hak pakai atas tanah
hak milik;
§ Hak atas tanah
berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau yang aka nada
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut;
§ Rumah susun dan
hak milik atas satuan rumah susun;
§ Bawah tanah,
sepanjang secara fisik ada hubungannya dengan bangunan yang ada diatas tanah.
Karena hak tanggungan merupakan hak kebendaan, maka keberdaan benda
objek jaminan merupakan syarat yang sangat penting bagi eksistensi suatu
jaminan utang. Bukan hanya itu, bahkan hak tanggungan akan mengikuti benda
objek jaminan utang, kemanapun benda tersebut berada atau dialihkan. Pasal 7
dari Undang-undang Hak Tanggungan dengan tegas menentukan bahwa hak tanggungan
tetap mengikuti objeknya, kedalam tangan siapapun objek tersebut berada.
Dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT ditentukan, bahwa subjek hukum dalam
Hak Tanggungan terdiri atas Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak
Tanggungan bias orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang
bersangkutan. Hal mana harus ada pada Pemberi Hak Tanggungan pada saat
pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pad
saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku-tanah
Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada
saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berbeda dengan pemberi Hak Tanggungan, terhadap penerima dan pemegang
Hak Tanggungan tidak terdapat persyaratan khusus. Penerima dan pemegang Hak
Tanggungan juga dapat orang perseorangan tau badan hukum, bahkan orang asing
atau badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia maupun diluar negeri
dapat menjadi penerima dan pemegang Hak Tanggungan, aslkan kredit yang
diberikan tersebut menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Hak
Tanggungan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara
Republik Indonesia. Dengan demikian yang menjadi pemegang Hak Tanggungan,
bias orang (person alamiah) dan badan hukum (rechtspersoo).Pengertian
badan hukum disini hendaknya diartikan secara luas, tidak hanya perseroan
terbatas, koperasi, atau yayasan, melainkan termasuk pula persekutuan lainnya,
misalnya persekutuan komanditer (CV).[33]
d.
Janji-janji dalam Hak Tanggungan
Salah satu dokumen wajib dalam pemberian hak tanggungan adalah Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT).Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dibuat oleh
pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Akta Pemberian Hak Tanggungan berisikan hal-hal yang biasa dalam
suatu akta: identitas dan domisili para pihak, penyebutan tentang utang yang
dijamin, penyebutan tentang objek hak tanggungan, ataupun penyebutan nilai
tanggungan. Di samping itu, akta hak tanggungan dapat pula diisi dengan
janji-janji sebagai berikut :
·
Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk
menyewa dan atau menentukan atau mengubah sewa atas objek hak tanggungan;
·
Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk
mengubah bentuk dan atau susunan objek hak tanggungan;
·
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan
untuk mengelola tanah objek hak tanggungan;
·
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan
untuk menyelamatkan tanah objek hak tanggungan;
·
Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama akan mempunyai hak
untuk menjual atas kekuasaannya sendiri terhadap tanah objek hak tanggungan
apabila debitor dalam keadaan wanprestasi;
·
Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa
objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan;
·
Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya
atas tanah objek tanggungan;
·
Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagaian ganti rugi untuk pelunasan piutang jika terjadi pembebasan tanah
untuk kepentingan umum atau pelepasan hak;
·
Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagaian uang asuransi yang diterima oleh pemberi hak tanggungan jika objek
hak tanggungan diasuransikan;
·
Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan tanah objek
hak tanggungan jika terjadi eksekusi hak tanggungan;
·
Janji bahwa sertifikat atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan hak tanggungan dipegang oleh pemegang hak tanggungan;
·
Janji yang justru memberikan kewenangan kepada pemegang hak
tanggungan untuk memiliki sendiri (mendaku) tanah objek hak tanggngan manakala
debitor cidera janji yang berakibat batal demi hukum (null and void).
e.
Pendaftaran Hak Tanggungan
Tahap pembebanan Hak Tanggungan berikut adalah tahap pendaftaran
Hak Tanggungan pada dan oleh Kantor Pertahanan, yang merupakan saat Lahirnya
Hak Tanggungan yang dibebankan.
Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan
kepada kreditor, Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak Tanggungan
itu baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku-buku di kantor Pertahanan.
Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut
adalah sangat penting bagi kreditor. Saat tersebut bukan saja menentukan
kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor-kreditor yang lain, melainkan
juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain
yang juga pemegang Hak Tanggungan, dengan tanah yang sama sebagai jaminannya.
Untuk memperoleh kepastian mengenai saat pendaftarannya, dalam UUHT ditentukan,
bahwa tanggal buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran
tersebut secara lengkap oleh kantor
Pertahanan, dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, maka buku tanah
yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
f.
Hapusnya Hak Tanggungan
Secara Imitatif ketentuan dalam Pasal 18 UUHT menetapkan hal-hal
yang dapat menyebabkan berakhir atau hapusnya Hak Tanggungan, yaitu karena :
1.
Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2.
Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3.
Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
4.
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, adanya
Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
Apabila piutang itu dihapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan
sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Selain itu, pemegang
Hak Tanggungan dapat melepaskan Hak Tanggungannya dan hak atas tanah dapat
dihapus, yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.Hapusnya Hak Tanggungan
karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan
tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak
Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena
permohonan pembeli ha katas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar ha
katas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagai mana
disebut dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang-undangan
lainnya. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang
dijadikan objek Hak Tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan
diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka
waktu tersebut, maka Hak Tanggungan dimaksud tetap melekat pada ha katas tanah
yang bersangkutan. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya ha katas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin,
karenanya debitur tetap berkewajiban untuk melunasi (sisa) utangnya.
g.
Eksekusi dan Peroyaan Hak Tanggungan
Proses eksekusi hak tanggungan merupakan proses menjual benda yang
merupakan objek hak tanggungan ketika utang dari debitor pemberi hak tanggungan
sudah tidak dibayar pada waktu jatuh tempo. Beberapa model eksekusi hak
tanggungan adalah sebagai berikut :
1.
Eksekusi dengan jalan mendaku;
2.
Eksekusi dengan jalan menjual bawah tangan secara langsung;
3.
Eksekusi dengan jalan menjual lelang sendiri oleh kreditornya tanpa
ikut campur kantor lelang;
4.
Eksekusi dengan jalan menjual lewat kantor lelang tanpa perlu
campur tangan pengadilan;
5.
Eksekusi secara flat eksekusi melalui pengadilan (dengan
menggunakan kekuatan irah-irah dalam sertifikat hipotek);
6.
Eksekusi dengan jalan gugatan perdata biasa melalui pengadilan.
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan dan Saran
1.1.
Simpulan
Dalam
praktek perkreditan atau pembiayaan, keberadaan agunan sebagai jaminan tambahan
ternyata menjadi hal yang lebih diutamakan oleh bank dibandingkan dengan
sekedar jaminan berupa keyakinan bahwa debitur akan mampu mengembalikan kredit
atau pembiayaan yang diterimanya. Di samping itu, untuk lebih meyakinkan bahwa
agunan yang diberikan akan mampu menjamin pengembalian kredit atau pembiaayaan
bila terjadi wanprestasi, maka agunan yang diserahkan oleh debitur harus
dilakukan pengikatan.
Pengikatan
jaminan/agunan merupakan perjanjian accessoir (perjanjian buntut atau perjanian
turutan), sedangkan perjanjian pokoknya dalam konteks perbankan berupa
pemberian kredit atau pembiayaan. Oleh karena itu, berdasarkan doktrin hukum
maka perjanjian accessoir dibuat berdasarkan suatu perjanjian pokok. Bila
perjanjian pokok hapus maka perjanjian accessoir juga harus dihapuskan.
Sehubungan dengan itu, perjanjian kredit atau pembiayaan adalah perjanjian
pokok dan perjanjian pengikatan jaminan/agunan adalah perjanjian accessoir.
Dengan demikian utuk pengamanan ditandatagani segera dilakukan perjanian
pengikatan jaminan kredit atau pembiayaan.
Mengenai
pengikatan jaminan kredit atau pembiayaa dapat diikuti berbagai ketentuan hukum
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang lembaga
jaminan dalam kaitannya dengan suatu utang-piutang.
Di
Indonesia setelah Tahun 1996, yakni sejak lahirnya UU No. 4 Tahun 1996 tentang
tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, pengikatan
jaminan (agunan) kredit atau pembiayaan dibank melalui lembaga jaminan dapat
dilakukan melalui beberapa macam lembaga jaminan, yaitu gadai, Hipotek, hak
tanggungan, dan fidusia. Adapun uraian singkat mengenai masing-masing bentuk
lembaga jaminan adalah sebagai berikut :
1. Gadai
Lembaga
jaminan yang disebut Gadai diatur oleh ketentuan pasal 1150 sampai dengan pasal
1160 KUHPerdata. Gadai merupakan lembaga jaminan yang digunakan untuk mengikat
jaminan utang yang berupa barang-barang bergerak antara lain berupa
barang-barang perhiasan (misalnya kalung emas dan gelang emas), surat berharga
dan surat yang mempunyai harga (misalnya saham dan sertifikat deposito),
mesin-mesin yang tidak terpasang secara tetap di tanah atau bangunan (misalnya
genset) dan sebagainya.
Pengikatan
jaminan melalui gadai memberikan jaminan kebendaan kepada krediturnya sebagai
pemegang Gadai, artinya kreditur mempunyai hak menagih pelunasan piutangnya
atas benda yang diikat dengan Gadai tersebut.
Pengikatan
jaminan melalui Gadai memberikan hak didahulukan atau hak preferen kepada
kreditur sebagai pemegang gadai, artinya kreditur tersebut akan memperoleh
pembayaran didahulukan atas piutangnya dari hasil pencairan (penjualan) benda
yang diikat dengan gadai dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya.
2. Hipotek
Lembaga
Hipotek pada saat ini hanya digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa
kapal laut berukuran bobot 20 m3 atau lebih sesuai dengan ketentuan
Pasal 314 KUHDagang dan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, dengan mengacu
antara lain kepada ketentuan Hipotek yang tercantum dan KUPerdata.
Pengikatan
kapal laut melalui Hipotek memberikan kepastian hukum bagi kreditur sesuai
dengan dibuatnya akta dan sertifikat Hipotek yang dalam praktek pelaksanaannya
adalah berupa Akta Hipotek berdasarkan perjanjian pinjaman dan Akta Kuasa
Memasang Hipotek.
3. Hak Tangguungan
Hak
tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kredit-kredit lain. Pemberiannya merpakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu
perjannjian yang menimbulan hubungan hukum piutang yang dijamin pelunasannya.
4. Fidusia
Semula
bentuk jaminan ini tidaklah diatur dalam perundang-undangan melainkan
berkembang atas dasar yurisprudensi, di Indonesia baru diatur dalam
undang-undang pada tahun 1999 dengan lahirya Undang-undang Nomor 42 tahun 1999
tentang jaminan fidusia.
Fidusia
merupakan pengembangan dari lembaga gadai, oleh karena itu yang menjadi objek
jaminannya yaitu barang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan. Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 42 tahun 1999 tersebut, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
1.2.
Saran
Dengan
adanya materi yang Kami buat ini, Kami berharap Kita dapat lebih mengerti
tentang Hukum jaminan dan isi dari materi-materi yang terkandung di dalamnya.
serta telah mengetahui apa saja lembaga-lembaga jaminan yang mungkin akan Kita
perlukan suatu saat, dan berbagai pembahasan lain yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu, Kami
mengajak teman-teman untuk membaca dan mencermatinya dengan baik agar Kita bisa
menjadi masyarakat yang lebih mengerti hukum.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi Kita semua . Tiada gading yang tak retak,
maka tentu karya tulis yang Kami buat masih pekat akan kesalahan. Oleh karena
itu, mohon kritik dan saran agar pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun
dengan lebih baik lagi.
[1] Nahrowi, “Pengantar HUkum
Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam”,Lembaga penelitian UIN
Jakarta 2009 hlm.194-197
[2] Nahrowi, “Pengantar HUkum
Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam”,Lembaga penelitian UIN
Jakarta 2009 hlm.198-200
[3] Nahrowi, “Pengantar HUkum
Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam”,Lembaga penelitian UIN
Jakarta 2009 hlm.200-201
[4] Munir Fuady, Hukum Jaminan
Utang (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2013), hlm. 164
[5]Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2000), hlm. 104-106
[6]Munir Fuady, Hukum Jaminan
Utang (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2013), hlm. 166-167
[7] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2000), hlm. 113
[8] Ibid., hlm. 113-114
[9] Ibid., hlm 114
[10]Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), hlm. 167
[11]Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2000), hlm. 110
[12]Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), hlm. 167-168
[13] Rachmadi Usman, Hukum kebendan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.
261
[14] Ibid, hlm. 262-263
[15] Ibid, hlm. 263-266
[16] Ibid, 266-267
[17] Ibid, hlm. 268-269
[18] Ibid, hlm. 270
[20] Ibid, 273
[21] Ibid, hlm. 274-275
[22] Ibid.276
[23] Ibid, 279
[24] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, (Jakarta: Erlangga, 2013), hlm. 101-102.
[25]Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era
Globalisasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 151.
[26]Munir Fuady, Hukum Jaminan
Utang, (Jakarta: Erlangga, 2013), hlm.
102-120.
[27] Ibid, Hlm 120-131
[28] Ibid, hlm. 127
[29] Ibid, hlm. 141-147
[30]Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta; Sinar Grafika,
2013).Hlm. 305.
[31] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, ( Jakarta; Penerbit
Erlangga, 2013). Hlm. 68.
[32] Rachmadi Usman, Ibid,.hlm. 306
[33]Ibid, Hlm. 314.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar